Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siapakah Korban Pertama Pasal Penistaan Agama?

Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Foto : www.bonekarusia.wordpress.com







Setelah jatuhnya vonis Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), desakan akan penghapusan terhadap pasal 156 a KUHP kembali mencuat. Pada intinya pasal tersebut dinilai sangat berpotensi menjadi  pasal karet yang dapat memberangus kebebasan berpendapat.
Selain kasus yang menimpa Ahok, berdasarkan hasil penelitian The Indonesia Legal Resources Center (ILRC) sampai tahun 2012 setidaknya telah terjadi 37 kasus lainnya yang telah divonis dan berkekuatan hukum tetap.

Dalam kasus-kasus tersebut sepertinya tidak sekedar kebebasan berpendapat yang terancam,  bahkan juga pasal tersebut nampaknya telah mengekang kebebasan berekspresi khususnya dalam menghasilkan sebuah karya sastra.

Sepertinya petaka itulah yang pernah dialami oleh sastrawan HB Jassin yang karya-karya sastranya begitu terkenal mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Ironisnya ternyata pemimpin redaksi Majalah Sastra itulah yang menjadi korban pertama pasal penistaan agama sebagaimana kemudian menjadi pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Siapa yang tak kenal HB, Jassin? Sepertinya setiap siswa yang pernah belajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pasti mengenal sosok ini. Hans Bague Jassin, nama lengkapnya. lahir di Gorontalo , 13 Juli 1917 (meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun) adalah seorang pengarang, penyunting, dan kritikus sastra Indonesia. Tulisan-tulisannya digunakan sebagai sumber referensi bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kalangan sekolah dan perguruan tinggi dengan menggolongkan angkatan sastra.. Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki adalah upaya pemerintah mengabadikan namanya atas jasa-jasanya dalam ikut mengembangkan kesusastraan Indonesia  (https://id.wikipedia.org/wiki/Hans_Bague_Jassin).

Tokoh sastra Indonesia tersebut sempat didudukkan sebagai terdakwa terkait dengan pemuatan sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul Langit Makin Mendung, pada Majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968 yang ketika itu dipimpin HB Jassin sebagai pemimpin redaksinya.

Cerpen tersebut menceritakan tentang Nabi Muhammad SAW yang dikisahkan turun ke bumi. Nabi diizinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab mengapa umatnya lebih banyak yang masuk ke dalam neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam AS yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka memberi pidato pelepasan.

Dengan menunggangi buroq dan didampingi Jibril, meluncurlah Nabi Muhammad SAW. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Rusia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur, sedangkan, Nabi dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang berada di langit-langit. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Nabi dan Jibril menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Nabi berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia dengan bertengger di puncak Monas dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.

Selanjutnya melalui dialog antara Nabi Muhammad SAW dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, penulis cerpen memotret kondisi sosial tanah air masa pada masa itu, yang diungkapkan dalam kalimat seperti “negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat, dan kejahatan tumbuh subur”. Lewat cerpen ini, penulis cerpen juga menyindir elite politik, seperti Soekarno sebagai “nabi palsu yang hampir mati”, Soebandrio sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.

Cerpen diakhiri dengan sebuah pernyataan bahwa “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”

Demikian gambaran garis besar isi cerpen sebagaimana dikutip dari buku hasil kajian  The Indonesia Legal Resources Center (ILRC) bertajuk Ketidakadilan Dalam Beriman : Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia pada halaman 17.

Ditegaskan juga dalam hasil kajian tersebut cerpen itu menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, Akibat reaksi massa, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredarannya karena isinya dianggap menghina kesucian agama Islam. HB Jassin tidak bersedia memberikan atau mengungkapkan identitas Ki Pandji Kusmin, sang penulis cerpen sehingga sebagai penanggungjawab majalah ia dinilai bertanggungjawab atas pemuatan cerpen tersebut di majalah sastra yang dikelolanya.

Kala itu persidangan kasus tersebut menjadi pro dan kontra di kalangan para sastrawan sendiri. HB Jassin dalam pledoi, sekaligus permintaan maafnya, menyatakan :
“Kami telah dilain tafsirkan dan karena perlainan tafsir itu orang mengira kami telah menghina mereka, menghina kepercayaan mereka yang adalah kepercayaan dan keyakinan kami juga. Kami dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada mereka yang mengganggap bahwa kami telah menghina, dan kami pun memohon maaf kepada Allah Maha Kuasa, yang kamu tahu adalah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf. “

Pengadilan Negeri Medan memvonis HB Jassin dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun penjara. Diketahui kemudian bahwa nama asli Ki Pandji Kusmin adalah Soedihartono yang menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional, dan menjalani ikatan dinas selama enam tahun di Jakarta.

Harian Kami edisi 22 Oktober 1968 memberitakan bahwa penulis menyatakan tidak bermaksud menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga, dll. selain menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno. Sedangkan pembelaan H.B. Jassin terhadap Ki Pandji Kusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. (Uli Parulian dkk, 2012 hal.17).
Masih pentingkah beradaan pasal 156 a KUHP tersebut? Sepertinya perlu kita ulas lebih mendalam dan sepertinya membutuhkan kajian lebih lanjut. Semoga pada kesempatan berikutnya bisa kita lakukan.


loading...

Posting Komentar untuk "Siapakah Korban Pertama Pasal Penistaan Agama?"