Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tepatkah Abolisi Untuk Habib Rizieq?

Pertemuan Habib Rizieq dengan tim lawyer di Arab Saudi. Sumber Foto: www.detik.com 

Abolisi. Kata itu menguat wacananya terlebih pasca pertemuan petinggi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dengan Presiden Joko Widodo pada lebaran pertama tahun ini.

Adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang kabarnya mengusulkannya sebagai solusi atas berbagai permasalahan terkait langkah hukum yang diambil penegak hukum terhadap beberapa orang yang diduga melakukan tindak pidana khususnya kasus dugaan chat berkonten pornografi yang menimpa Habib Rizieq Shihab.

Tidak jelas betul sebenarnya kenapa harus abolisi yang dianggap menjadi solusi penyelesaian. Pantaskah Presiden Jokowi memberikan abolisi untuk tersangka pelaku dugaan percakapan (chating) porno?

Sementara, si tersangka sendiri telah masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Kabarnya saat ini berada di Arab Saudi tak jelas kapan kembali memenuhi panggilan pihak Kepolisian yang juga sedang mempersiapkan upaya paksa berikutnya memulangkan yang bersangkutan ke tanah air. Salah satunya dengan rencana pencabutan paspor setelah upaya red notice tidak berhasil.


Praktek Abolisi

Abolisi merupakan  tradisi hukum Eropa Kontinental (Roman Law). Raja dalam tradisi Romawi menjalankan peran sebagai legislator atau pembentuk undang-undang yang disebut decretum (dekrit). Pada masa Kaisar Yustinianus, decretum-decretum itu dikumpukan secara sistematis dalam suatu kitab undang-undang yang dikenal dengan Codex Yustinianus.

Salah satunya adalah code penal yang sampai saat ini berlaku di Indonesia sebagai Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Menerapkan atau tidak suatu ketentuan undang-undang merupakan kebijakan Raja, sebagai pembuat undang-undang. Dengan demikian, abolisi adalah suatu kekuasaan untuk menjadikan suatu aturan hukum tidak efektif bagi seseorang atau sekelompok orang. Menghentikan kekuataan berlakunya atau menghapus daya  paksanya  ( to make ineffective or inoperative or neutralize) (Indra Perwira, http://www.academia.edu/4782375/Amnesti)

Pengaturan  dasar abolisi dapat dilihat  pada pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Kalimat  “ dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat “ baru mun cul setelah adanya Perubahan UUD 45. Sebelumnya Pasal 14 berbunyi, Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Abolisi pertama kali diberikan Presiden berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tanggal 27 Desember 1954. UU ini untuk melaksanakan ketentuan pasal 107 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Pasal 2  UU tersebut mengatur bahwa amnesti dan abolisi diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.

Selanjutnya pasal 3 menegaskan untuk menentukan apakah sesuatu tindak pidana termasuk ketentuan pasal 2 dapat diminta nasihat dari Mahkamah Agung. Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang termaksud dalam pasal 1 dan 2 ditiadakan.

Pemberian abolisi juga pernah dilakukan terhadap Syafrudin Prawiranegara yang diduga terlibat gerakan RPI/PRRI. Syafrudin Prawiranegara berserta seluruh pengikut gerakan RPI/PRRI telah menerima amnesti dan abolisi yang dituangkan  dalam Keputusan Presiden No.375 Tahun 1961 tertanggal 1Juli 1961.

Atas dasar amnesti dan abolisi tersebut, Syafrudin Prawiranegara selaku Presiden RPI pada tanggal 17 Agustus 1961, menyampaikan maklumat untuk menghentikan segala tindakan perlawanan dan permusuhan kepada pemerintahan Republik Indonesia. Hal itu menunjukkan kesungguhan Syafrudin Prewiranegara memenuhi panggilan Pemerintah untuk kembali ke Ibu Pertiwi.

Pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor  22 Tahun 2005 tentang amnesti dan abolisi terhadap lebih dari  2000 anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).  Mereka kemudian menghimpun diri menjadi sebuah partai lokal dan menang dalam Pemilu, bahkan salah seorang tokoh  GAM  pernah  menjabat sebagai Gubernur Nangro Aceh Darusalam.
Lanjutkan Penegakan Hukum
Dari uraian di atas terlihat bahwa abolisi adalah instrumen hukum yang lazim digunakan untuk mengatasi konflik-konflik politik khususnya antara penerima abolisi yang notabene memiliki pengikut yang signifikan dengan Pemerintah.

Pertanyaanya kemudian apakah kasus chating porno Habib Rizieq Shihab  masuk dalam kategori kasus politik atau setidaknya serupa dengan kasus-kasus di atas?
Saya tidak melihat ada kesamaan kasus yang menimpa Rizieq Shihab dengan kasus-kasus besar di atas yang melibatkan tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dan memang berdampak luas bagi berjalannya roda pemerintahan dan situasi keamanan dan ketertiban dalam masyarakat apabila Pemerintah tidak menghentikan pengusutan kasus dengan pemberian abolisi. 

Menurut  saya kasus Habib Rizieq ini bukanlah  kriminalisasi apalagi bila dianggap sebagai kriminalisasi terhadap ulama sebagaimana MUI juga pernah menegaskannya. Maka tidak tepat kalau abolisi solusinya, termasuk juga rekonsilliasi. Setahu saya abolisi diberikan jika stabilitas pemerintahan terganggu bila kasus tetap dilanjutkan, sebagaimana kasus-kasus lain yang pernah diberikan abolisi oleh pemerintah.

Presiden dapat memberikan  abolisi apabila Pemerintah sudah begitu kewalahan menghadapi gangguan stabilitas akibat diprosesnya perkara tersebut. Atau mengingat pertimbangan kemanusian serta jasa calon penerima abolisi terhadap bangsa dan negara. Apa benar stabilitas pemerintahan sudah terganggu dan pemerintah khususnya penegak hukum sudah menyerah untuk tetap menegakan hukum?

Saya lebih sependapat dengan pandangan Prof. Dr. Afriva Khaidir, akademisi Universitas Negeri Padang yang melihat sesunguhnya Habib Rizieq bukan dianggap lawan politik oleh Pemerintah. Dia saja yang melakukan perlawanan dengan mengganggu proses politik yang legal dan proses peradilan dengan agitasi, provokasi dan pergerakan massa. Kenapa harus abolisi dan rekonsiliasi? Bertepuk sebelah tangan namanya. Begitu tulis Prof. Afriva di wall facebook saya beberapa waktu lalu.


Maka dengan demikian solusi yang paling tepat menurut saya adalah lanjutkan proses hukum secara konsisten. Penegakan hukum adalah solusi yang paling tepat. Bukankah semua kita sama di hadapan hukum?   
loading...

Posting Komentar untuk "Tepatkah Abolisi Untuk Habib Rizieq?"