Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Banjir Jakarta dan Pandemi


 


Oleh Zenwen Pador

Advokat, Direktur Perkumpulan Peduli Konsumen dan Bantuan Hukum (PKBH) Andalas, Jakarta

Banjir dan longsor pada awal musim hujan kali ini telah menelan korban 1 (satu) orang meninggal di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan.  Hujan yang tidak terlalu deras pada 10 Oktober  2020 meluapkan aliran Sungai Setu Jagakarsa membanjiri pemukiman, menyebabkan longsor yang kemudian menimpa beberapa bangunan  (Media Indonesia, 17/10/2020)

Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), di awal 2020 lalu bencana banjir  paling banyak mengakibatkan korban meninggal dunia, yaitu 86 orang, disusul tanah longsor lima dan puting beliung tiga orang.

Bencana atas Bencana

Tidak dapat dibayangkan seandainya di tengah kesibukan para pihak mengatasi Pandemi Covid 19 yang dari hari ke hari belum juga melandai, tiba-tiba saja masyarakat  khususnya di DKI Jakarta  kembali dihantam bencana banjir sebagaimana terjadi di awal 2020 lalu.

Padahal, sampai 16/10- 2020 saja kasus positif Corona bertambah 4.301. Total kasus positif Corona di Indonesia menjadi 353.461. Penambahan kasus terbanyak  masih terjadi di DKI Jakarta, yakni 1.045 dengan total akumulasi kasus positif  92.382 orang. Korban meningal bertambah 79 orang, sehingga menjadi 12.347 orang di Indonesia.

Pemda Jakarta sedang berjibaku menangani Pandemi Covid 19 sejak Maret 2020 lalu sampai saat ini. Bahkan Jakarta masih menerapkan PSBB Transisi setelah sempat menerapkan PSBB Ketat. Namun kita berharap Pemda tidak melupakan antisipasi bencana banjir khusunya pada puncak musim hujan kali ini yang diperkirakan oleh BMKG akan terjadi pada awal tahun 2021.

Dapat diperkirakan penanganan wabah Covid 19 akan semakin berat bila banjir juga melanda apalagi sampai tak surut-surut  selama beberapa minggu sebagaimana terjadi sebelumnya. Dapat dipastikan potensi jatuhnya korban baik karena pandemi maupun karena bencana banjir akan semakin tinggi.



Untuk itu penyiapan protokol kesehatan pada saat banjir melanda, di wilayah pengungsian dan evakuasi korban tentulah sangat penting untuk diantisipasi sedini mungkin. Namun yang paling utama harus diprioritaskan bagaimana mengantisipasi agar banjir kali ini bisa lebih minimal kalaupun tak mungkin sampai bebas banjir.  Apalagi di tengah minimnya pembiayaan publik karena telah terkurasnya anggaran dalam penanganan pandemi.

Pemda Jakarta khusunya harus mempelajari betul hasil evaluasi atas bencana banjir sebelumnya, agar potensi bencana banjir pada musim hujan 2021 dapat diminimalisir. Namun pertanyaannya kemudian sudah tersediakah dokumen evaluasi tersebut?

Kurangnya Evaluasi

Satu hal yang harus diingat dalam memahami kebijakan adalah tentang apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa usulan tindakan atas persoalan tertentu. Karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga defenisi kebijakann yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai (Budi Winarno, 2011, hal. 21).

Idealnya, pemahaman teoritis di atas tentunya berlaku untuk setiap kebijakan publik, termasuk kebijakan penanganan banjir. Berkaca pada selalu terulangnya bencana banjir di  Jakarta setiap tahun, sepertinya  ada aspek penting dari  kebijakan Pemda yang sepertinya luput dicermati oleh para pihak yaitu : Pertama, minimnya evaluasi atas upaya pencegahan dan penanganan bencana banjir serta kedua, minimnya partisipasi dan peran serta publik. 

Curah hujan ekstrim memang terjadi pada awal 2020 lalu sebagaimana sudah diperingatkan  BMKG sebelumnya. Artinya potensi bencana banjir akibat cuaca ekstrim tersebut sudah sejak dini diketahui. Persoalannya adalah apakah pihak yang berwenang memperhatikan peringatan tersebut dan segera mempersiapkan segala sesuatunya sehingga bencana besar yang diperkirakan dapat diminimalisir?

Faktanya bencana banjir pada awal 2020 lalu sepertinya adalah yang terlama dan terparah terjadi dibandingkan banjir-banjir sebelumnya.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menyebut ada lima penyebab banjir di Ibu Kota terjadi dan lama surutnya (Tempo, 6/1/2020).

Pertama, terbatasnya kapasitas badan sungai. Banyaknya bangunan yang berdiri di bantaran sungai menyebabkan ruang badan sungai menyempit. Penyebab kedua, besarnya volume sampah membuat air sungai cepat meluap karena melebihi kapasitas. Hal ini menunjukkan masyarakat masih membuang sampah sembarangan ke sungai dan saluran air. Artinya peran serta masyarakat dalam mencegah banjir juga minim.

Ketiga adalah saluran air yang banyak tersumbat sampah dan lumpur. Serta faktor keempat yang menyebabkan banjir Jakarta relatif lama surut lantaran situ, danau, embung, waduk (SDEW) tak berfungsi. Penampung-penampung air ini juga tidak terhubung baik dengan saluran air dan sungai. Nirwono menilai SDEW tak akan meluap apabila terkoneksi baik dengan saluran air dan sungai.

Kelima ialah daerah resapan air atau ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta yang berkurang. Hal itu, mengakibatkan air tak cepat meresap ke tanah secara alami.

Seharusnya menurut Wignyo Adiyoso ada Kebijakan radikal mitigasi bencana banjir.Untuk mengelola dan mengurangi aliran air yang berlebihan dari hulu (Bogor dan Depok), maka pemerintah pusat perlu mendukung Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta dalam program-program penanggulangan banjir mereka.

Dengan tren curah hujan yang terus tinggi, wilayah-wilayah ini perlu memiliki aliran dan penampungan air yang memadai. Dengan istilah apa pun, entah normalisasi, naturalisasi atau revitalisasi  pemerintah perlu mengembalikan fungsi sungai. Pemeliharaan dan pengerukan harus menjadi prioritas dan program wajib dan rutin pemerintah (The Conversation, 6/1/2020).

Terlupakan

Malangnya kemudian, tak lama setelah bencana banjir melanda, wabah Pandemi Covid-19 datang melanda. Perhatian seluruh pihak khususnya Pemerintah Daerah Jakarta tersedot kepada upaya penanggulangan dan penanganan wabah.

Akibatnya pasti, berbagai persoalan penyebab banjir di atas sepertinya kembali luput dari penanganan Pemerintah dan Pemda. Sepertinya seluruh perhatian para pihak dan segenap sumber daya yang tersedia telah dikerahkan secara total untuk menangani dan mengatasi pandemi Covid 19 ini.

Namun kalau dipahami bahwa bencana banjir berpotensi akan terulang pada musim hujan berikutnya termasuk pada saat Pandemi sekalipun, seharusnya Pemerintah tetap menjalankan berbagai program yang ditujukan untuk menangani persoalan tersebut.

Bila tidak, dapat dipastikan tingkat kegaduhan dan kompleksnya persoalan yang akan dihadapi para pihak serta  berlipatgandanya penderitaan masyarakat akibat bencana banjir di tengah pandemi covid-19. Akibatnya, pastilah potensi korban jiwa akan semakin tinggi resikonya.

Maka tidak bisa tidak, sekalipun terlambat  sejak sekarang Pemerintah khususnya Pemda Jakarta harus segera berbenah dan mengantisipasi bencana dahsyat ini terjadi. Tentunya kita tidak ingin korban jiwa dan kerugian materil bertambah semakin banyak lagi nantinya.

***



Posting Komentar untuk "Banjir Jakarta dan Pandemi"