Vonis Media Sosial
www.republika.co.id |
“Sebagai kaum terdidik,
kita semua merasa terpanggil bagaimana mendorong rakyat memiliki kesadaran
hukum yang tinggi. Sehingga hukum bisa menjadi budaya.”
Begitu salah satu seruan Adnan
Buyung Nasution, pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang
hingga kini tetap eksis membangun kesadaran dan budaya hukum masyarakat.
Setidaknya seruan
tersebut pada banyak hal nampak semakin menggembirakan. Terlihat dari menjamurnya
aksi-aksi hukum yang dilakukan masyarakat, tentu saja dengan memanfaatkan
lembaga dan mekanisme hukum yang tersedia dalam memperjuangkan hak-hak
hukumnya.
Salah satunya, besarnya
minat dan antusiasme kalangan masyarakat khususnya masyarakat kecil mengajukan
gugatan ke Mahkamah Konsititusi. Langkah hukum terbaru misalnya seorang karyawan Es Teler 77 yang tinggal di
daerah Surabaya mengajukan permohonan uji materiil pasal 35 ayat 2 dan 37 ayat
1 Undang-Undang (UU) 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) yang telah diubah menjadi UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Ciptaker) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon yang bernama
Samiani menilai, pasal 35 ayat 2 dan 37 ayat 1 belum mengatur klausul tentang
pencairan dana jaminan hari tua (JHT) apabila seorang karyawan mengundurkan
diri atau mengalami pemutusan hubungan kerja (Mediaindonesia.com,23/3/2022).
Dalam kerangka Negara
Hukum, progresivitas sikap berhukum Samiani sebagai representasi rakyat jelata
ini selayaknya diapresiasi. Samiani tak memilih jalur frontal seperti berdemo apalagi
melakukan aksi-aksi yang cenderung fisik dan anarkhis yang pada akhirnya tentu
akan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum.
Kontras
Namun, langkah hukum Samiani
seakan sangat kontras dengan apa yang dilakukan sekelompok orang yang
menghakimi Ade Armando dalam momen aksi mahasiswa menolak wacana tiga periode
beberapa waktu lalu.
Mirisnya kemudian, banyak
kalangan seakan “memaklumi” kekerasan yang menimpa dosen yang juga pegiat media
sosial tersebut. Banyak yang percaya bahwa tindakan penganiayaan tersebut
sebagai akumulasi kemarahan publik akibat status “kebal hukum” yang selama ini
dinikmati yang bersangkutan.
Memang, sudah beberapa
kali Ade di laporkan ke Kepolisian tetapi tak satupun yang berhasil
menjadikannya sebagai terpidana. Jangankan menjalani hukuman, dalam banyak
kasus sepertinya hanya menjadikan Ade sebagai Terlapor, beberapa saja yang
sampai menyandang status tersangka.
Selain itu banyak yang
percaya, bahwa sepak terjang Ade selama ini dinilai sebagai penista agama. Sejalan
dengan anggapan perannya sebagai “buzzer penguasa” maka Ade seolah selalu aman
dari proses hukum.
Bila mencermati
video-video yang beredar di media sosial, awal kejadian pada aksi mahasiwa 11
April 2022 lalu, terlihat Ade Armano dimaki beberapa emak-emak dengan kata-kata
“buzzer”, “munafik”, “penjilat”, penista agama dan seruan agar sadar. Pada
video lainnya terlihat seseorang tiba-tiba memukulnya dari belakang.
Selanjutnya terjadilah penganiayaan oleh segerombolan lelaki yang sangat tidak
pantas untuk digambarkan kemudian.
Namun dari makian
beberapa perempuan dalam video pertama tadi sejalan bila dihubungkan dengan
opini yang berkembang di jagat dunia maya, khususnya dari pihak yang sepertinya
“merayakan” tindakan penganiayaan yang menimpa pegiat media sosial yang
senantiasa mengusung jargon logika dan akal sehat dalam konten-konten video
youtubenya tersebut.
Bahkan ada yang percaya
bahwa begitulah cara Tuhan membalas dan mempermalukan akibat perkataan dan
sikap Ade yang dinilai sebagai penista agama.
Kebal Hukum dan Vonis
Media Sosial
Pastinya kita mengutuk
tindakan biadab yang berangkat dari pemahaman sesat akibat bias informasi media
sosial tersebut. Namun keyakinan bahwa kejadian tersebut bersebab dari dan
sebagai buah sikap penegak hukum yang dinilai tebang pilih dalam memproses
laporan banyak pihak dengan terlapor Ade Armando, sungguh menjadi keprihatinan
bersama seharusnya.
Bagi kalangan yang
meyakini pemahaman tersebut, main hakim sendiri dan pengadilan rakyat sepertinya
adalah satu-satunya jalan untuk membalaskan keresahan publik atas penilaian tumpulnya
hukum pada sebagian pihak namun sebaliknya dirasa begitu tajam untuk
orang-orang atau pihak tertentu.
Sekalipun belum pernah
terbukti divonis bersalah oleh pengadilan, sosok Ade memang sangat kental
dinilai sebagai penista agama oleh kelompok yang kontra dengan kiprahnya selama
ini dalam pergulatan wacana di media sosial. Faktanya memang sebagian publik
khususnya netizen dunia maya lebih percaya pada wacana yang berkembang di media
sosial ketimbang di media konvensional. Ade dinilai telah mengembangkan wacana
kekerasan bagi keyakinan kelompok tertentu khususnya di dunia maya hingga cap
penista agama seakan lekat di keningnya.
Sekalipun bagi kalangan
lain yang mengedepankan asas praduga tak bersalah tentunya meyakini secara
hukum tidak boleh memberikan cap tersebut pada siapapun sebelum adanya vonis
bersalah dari pengadilan.
Namun fakta dalam kasus
Ade, pengadilan media sosial telah menjatuhkan vonis bersalah tersebut. Penegakan hukum kemudian dirasa tumpul hingga
sepertinya eksekusi massa berbentuk kekerasan fisik bekerja secara spontan
ketika momennya terbuka.
Idealnya, wacana sekeras
apapun sangatlah berbeda dengan kekerasan fisik. Kekuatan wacana sangat
bergantung kepada pikiran dan akal budi. Sementara kekerasan fisik berbasiskan
pada kegagalan meredam emosi kemarahan akibat himpitan “beban ketidakadilan”
yang dirasakan para pelaku kekerasan tersebut. Sekalipun “beban ketidakadilan”
tersebut sesungguhnya semu namun akibatnya terlihat sangatlah fatal.
Adil menurut salah
seorang individu atau sekelompok individu adalah keadilan yang subyektif. Kalau
subyektivitas setiap orang/kelompok yang dikedepankan, bayangkan berapa banyak
pemahamam keadilan itu. Bila si individu/kelompok selalu memaksakan pemahaman
adilnya itu ke orang lain maka anarkhisme seperti yang dialami Ade Armando akan
tiada henti terjadi.
Maka bagaimanapun hukum seharusnya
menjadi salah satu indikator utama keadilan. Segala sesuatu ada aturannya. Main
hakim sendiri pastinya melanggar hukum.
Kalaulah benar misalnya
penegakan hukum telah berlaku tidak adil dan cenderung diskriminasi terhadap
kelompok tertentu pastinya menjadi tidak adil dan sewenang-wenang juga bila melampiaskan
kemarahan pada seorang Ade Armando. Karena sesungguhnya yang bersangkutan juga
adalah korban ketidakadilan akibat berlarutnya proses hukum yang dialaminya.
Pastinya tidak enak menyandang status tersangka tanpa kejelasan kapan kasusnya
akan berakhir.
Ada problem kinerja
penegakan hukum yang ditimpakan pelampiasannya kepada orang tertentu yang
sebenarnya juga adalah korban akibat problem tersebut.
Posting Komentar untuk "Vonis Media Sosial"