Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggugat Pengkafiran dan Peran Parpol Islam




Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bagi sejumlah calon kepala daerah non-Muslim dalam pilkada serentak 15 Februari merupakan hal yang wajar dan proporsional. "PKS dukung non-Muslim itu di daerah mayoritas non-Muslim," ujarnya di Universitas Hamzanwadi, Selong, Lombok Timur, NTB, Kamis (23/2).(Republika.co.id, 23/2/2017).
Lebih jauh Hidayat Nur Wahid menegaskan, di Papua Barat misalnya, seluruh kontestan yang maju berasal dari non-Muslim. Dia menegaskan, tidak mungkin jika PKS tidak memilih salah satu pasangan calon. "Di Papua Barat, tiga calon semuanya non-Muslim, tidak mungkin PKS Golput,"katanya. Pria yang akrab disapa  HNW itu menyebutkan, keadilan dalam konteks proporsi merupakan hal yang wajar. Ia mencontohkan daerah dengan jumlah penduduk mayoritas non-Muslim dan dipimpin oleh seorang non-Muslim merupakan hal yang adil seperti di Bali dan NTT. Demikian tulis www.republika.co.id dalam berita yang sama.

Setidaknya begitulah pembelaan internal PKS terkait kritik atas dukungan partai Islam tersebut terhadap calon kepala daerah atau wakil kepala daerah non muslim. Proporsional, itulah intinya. Untuk daerah-daerah yang memang mayoritas pendudukanya non  muslim maka adalah hal wajar kalau kepala daerahnya juga non muslim.

Saya kira sampai di sini premis ini sepertiya ideal. Tetapi kalau kemudian dilanjutkan bahwa wajar juga kalau partai Islam mendukung calon kepala daerah yang non muslim, maka saya kira di sinilah soalnya.

Kalaulah parpol Islam sudah mengusung calon non muslim maka sudah barang tentu diharapkan masyarakat muslim di daerah tersebut juga akan memilih calon yang non muslim tersebut. Lalu bagaimana dengan keyakinan sebagian ulama dan pengikutnya yang mengharamkan muslim memilih peminpin non muslim. Bukankah demikian berbagai ceramah dan khotbah Jum`at yang sering  kita dengar? Apalagi ditambah dengan gencarnya klaim bahwa si muslim yang memilih non muslim sama kafirnya dengan orang yang dipilih.

Bahkan di beberapa mesjid di Jakarta kabarnya terpampang spanduk yang  juga beredar di media sosial tentang posisi muslim yang mendukung penista agama. Sudah barang tentu penyematan penista agama ini diarahkan kepada salah seorang calon gubernur Jakarta yang sedang menjalani persidangan sebagai terdakwa dalam dugaan melanggar pasal 156 atau pasal 156 a KUHP terkait penodaan agama.

Calon gubernur ini memang  non muslim. Kalau ada muslim Jakarta yang mendukungnya maka sudah pasti dianggap mendukung penista agama sekaligus mendukung calon peminpin kafir. Maka para  pendukung dan pemilihnya ditenggarai juga tergolong orang-orang kafir dan munafik. Maka orang-orang ini tidak berhak untuk disholatkan bila meninggal nantinya. Himbauan dalam spanduk tersebut menyatakan dengan tegas bahwa masjid dan musholla  menolak menyelenggarakan sholat jenazah bagi para pendukung penista agama.

Fenomena pengkafiran sesama muslim sepertinya bukanlah kecenderungan yang terjadi saat ini saja. Jauh sebelum kemerdekaaan, sejarah mengkafirkan sesama muslim sepertinya pernah juga terjadi di beberapa tempat di Nusantara salah satunya di Sumatera Barat.

Dalam bukunya Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan  Padri, Christine Dobbin menulis, ketika gerakan Padri sedang gencar-gencarnya menyerukan semangat kembali ke syariat, beberapa petinggi Padri antara lain Tuanku Nan Renceh pernah memberikan julukan Rahib Tua  (Rahib Kristen Tua) kepada Tuanku Nan Tua serta kutukan sebagai Raja Kafir kepada Jalaluddin.

Hal ini terjadi karena kedua orang tersebut tidak bersedia mendukung cara-cara keras dan radikal yang dilancarkan gerakan Padri dalam mengajak masyarakat Minangkabau untuk kembali ke syariat. Padahal,  kedua orang tersebut tergolong ulama besar berpengaruh pada masanya yang sebenarnya pada awalnya adalah guru agama yang sangat dihormati para pimpinan Padri tersebut.

Sebaliknya terhadap tokoh berpengaruh lain yaitu Tuanku Mensiang yang mau mendukung cara-cara yang terkesan keras dan radikal yang diterapkan gerakan Padri oleh para pimpinan Padri diberi gelar sebagai Imam Besar (Christine Dobbin, 2008, hal.214).   
Mungkin masih bisa diperdebatkan apa benar semua orang di luar pemeluk agama Islam adalah orang kafir. Apakah tepat juga menggolongkan muslim yang mendukung orang yang beragama lain sebagai orang kafir juga?

Saya tak memiliki kompetensi untuk membahas dua masalah krusial ini. Tapi sebagai muslim sejauh ini saya berkeyakinan bahwa bukan wewenang manusia menilai seseorang kafr atau bukan apalagi mengkafir-kafirkan sesama muslim. Menurut saya sepenunya hal itu menjadi otoritas   Tuhan Sang Maha Pencipta manusia dan seluruh isi alam ini. Saya kira keyakinan ini juga yang dipegang oleh ulama kharismatik Buya Hamka sampai akhir hayatnya.

Maka saya menyesalkan akan fenomena mengkafir-kafirkan sesama muslim yang berkembang saat ini apalagi sampai beredarnya himbauan untuk tidak mensholatkan jenazah muslim yang meninggal hanya karena diduga dia mendukung orang yang beragama lain semasa hidupnya.  Saya kira himbauan semacam itu tampaknya lebih bernuansa politis karena faktanya himbauan semacam ini lebih sering muncul pada momen Pilkada dimana dalam kontesta ada kandidat yang non muslim.

Kalaulah benar klaim bahwa muslim yang memilih non muslim sebagai peminpin sama kafirnya dengan yang dipilih dan memang demikian hukumnya maka tentunya pertangungjawabanan utama harus kita mintakan kepada partai – partai Islam. Berdasarkan data yag beredar setidaknya terdapat 22  Pilkada dimana partai-partai  Islam mengusung calon kepala daerah non muslim. Selain PKS partai Islam lain seperti PPP, PKB dan PAN sepertinya juga melakukan hal yang sama yaitu mendukung calon kepala daerah non muslim di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non muslim.

Dapat disimpulkan sikap partai Islam yang demikian sama sekali tidak mengedepankan kepentingan umat Islam yang mungkin tidak hanya sekedar membutuhkan calon-calon kepala daerah yang seiman dengannya tapi sesungguhnya juga telah diwajibkan sesuai keyakinannya akan adanya perintah tersebut dalam kitab sucinya. Tapi karena muslim minoritas di sebuah tempat maka partai Islam tersebut mengkalkulasikan tidak akan menang bila tetap mengusung calon kepala daerah yang muslim. Maka keluarlah argumentasi sebagaimana dilontarkan petinggi PKS sebagaimana dikutip di awal tadi.    

Mengikuti alur berpikir proporsional tadi maka tentunya tidaklah menjadi wajib hukumnya bagi muslim memilih peminpin yang seiman terutana di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non muslim.  Padahal, kalau mau konsisten dengan keyakinan tersebut minimal muslim minoritas seharusnya golput dalam Pilkada karena tidak ada kandidat yang muslim. Atau idealnya seorang muslim berpindah dan hijrah ke daerah yang mayoritas muslim. Saya kira begitu seharusnya konsistensi menjalankan keyakinan beragama.

Bagi partai Islam, idealnya jika benar-benar menjadi partai yang memperjuangkan konstituen yang beragama Islam maka selayaknya tak ada alasan pembenar untuk tidak mengusung calon kepala daerah yang beragama Islam. Lagi pula tidak selalu benar bahwa pemilih yang non muslim selalu akan memilih kandidat yang non muslim juga. Bisa saja calon yang muslim dengan berbagai faktor keunggulan dan rekam jejak yang dimilikinya akan menang di daerah yang mayoritas penduduknya non muslim. Kuncinya adalah bagaimana dan seperti apa mesin partai bekerja memperjuangkan kadernya yang muslim.

Tapi mungkinkah kita mendapatkan partai Islam yang demikian? Partai Islam yang mau bekerja keras dan mampu membawa keyakinan bagi non muslim akan nilai-nilai universal yang sesungguhnya dimiliki ajaran Islam?  Semoga saya tak menunggu Godot.
Depok, 7 Maret 2017

Posting Komentar untuk "Menggugat Pengkafiran dan Peran Parpol Islam"