Menimbang Pemenuhan Unsur Penodaan Agama Dalam Kasus Ahok
Menarik
mengikuti keterangan ahli Prof. Dr. Zainun Kaman, MA dalam sidang kasus penodaan
agama dengan terdakwa Tajul Muluk alias H. Ali Murthada dalam putusan Pengadilan
Negeri Sampang Nomor:
69/Pid.B/2012/PN.Spg yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Guru
Besar UIN Jakarta tersebut antara lain menerangkan bahwa Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) tidak mengikat, Fatwa
hanya mengikat kepada yang berfatwa dan yang meminta fatwa. Selain itu beliau
juga mengatakan kalau ada yang mengkafirkan sesama muslim, itu adalah perbuatan yang salah. Sesuatu yang
sedang marak terjadi saat ini.
Bila
dicermati, keterangan di atas sepertinya berkesesuaian dengan keterangan dengan
beberapa saksi ahli agama yang dihadirkan penasehat hukum dalam sidang dugaan
penodaaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang masih berlangsung sampai saat ini. Namun tentunya sebaliknya bertolak belakang
dengan keterangan para saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Tulisan
ini selanjutnya akan mencoba melihat kemungkinan terpenuhinya unsur perbuatan
penodaan agama kasus Ahok dengan membandingkan dengan beberapa kasus yang
dakwaannya sama yaitu pasal 156 a KUHP. Serta dengan mencermati juga proses
persidangan perkara yang sampai saat ini sudah memasuki tahap kesaksian dari
pihak Terdakwa.
Sama
sekali tidak ada maksud untuk mempengaruhi persidangan, namun tak lebih hanya
sekedar sebuah telaah untuk mencoba mendalami kasus dengan lebih mendalam. Lagi
pula mengutip pendapat seorang teman di media sosial, Advokat Alhendri Tanjung, SH.MH., yang juga
saya kutip dalam tulisan sebelumnya, saya percaya bahwa siapapun yang punya pandangan lain berkesempatan luas untuk
memberikan tanggapan dan dalil-dalil
bantahan. Sementara kebebasan dan
independensi hakim berada pada posisi yang tinggi yang tidak akan terpengaruh
oleh perdebatan di luar pengadilan.
Untuk kepentingan teknis mengingat tulisan ini agak
panjang, saya akan membagi setidak dalam
2 (dua) bagian tulisan. Setelah bagian pertama iniakan segera menyusul
bagian kedua.
Unsur Pidana Penodaan Agama
Sebagaimana
halnya dengan kasus Ahok, dalam putusan perkara No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg di atas Tajul Muluk juga didakwa dengan dakwaan
alternatif salah satunya adalah pasal 156 a KUHP. Dalam pertimbangan hukum majelis
hakim dalam Putusan No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg menguraikan unsur-unsur perbuatan
pidana dalam pasal 156 a KUHP yaitu : Pertama,
unsur barang siapa; dan Kedua, unsur
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia, atau dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Majelis
kemudian membagi unsur kedua di atas menjadi salah satu dari 4 (empat) bentuk
perbuatan pidana yaitu:
- Dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
- Dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
- Dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
- Dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan yang maha esa.
Keempat
bentuk perbuatan tersebut bersifat alternatif, artinya telah terpenuhi dengan
terbuktinya salah satu dari 4 (empat) perbuatan yang dimaksud. Dalam merumuskan
unsur kesengajaan Majelis sependapat dengan ahli hukum pidana Dr. Muzzakir, SH.
MH. bahwa teori pengetahuan adalah yang
paling tepat diterapkan di Indonesia sebagai standar minimun dalam praktek
hukum.
Sebab,
secara moral yuridis teori pengetahuan dapat dipertangungjawabkan dan secara
praktis mudah diterapkan. Dengan menggunakan teori pengetahuan tersebut
kesengajaan dalam delik ketertiban umum terletak pada pengetahuan pelaku mengenai
perbuatan dan akibatnya yakni pelaku mengetahui bahwa perbuatan tersebut
apabila dilakukan akan mengakibatkan gangguan ketertiban umum atau kedamaian
umat beragama. Untuk mengetahuinya cukup dibuktikan tingkat pengetahuan dan
intelektual pelaku menurut ukuran masyarakat pada umumnya.
Dengan
pertimbangan tersebut mengkaitkan dengan status sosial dan pendidikan Tajul
Muluk sebagai terdakwa maka hal tersebut
masuk kualifikasi. Namun demikian majelis
mempertimbangkan terlebih dulu apakah secara materil perbuatan terdakwa
terbukti dalam persidangan. Dari
beberapa dakwaan perbuatan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, Majelis menilai
dan meyakini bahwa perbuatan terdakwa yang menyatakan bahwa Alqur’an yang ada sekarang adalah tidak lagi orisinil
sedangkan yang orisinil masih dipegang oleh Imam Mahdi terbukti dalam
persidangan sebagai perbuatan yang
memenuhi unsur penodaan terhadap agama Islam. Terbuktinya dakwaan inilah yang
menjadi dasar Majelis kemudian menjatuhkan hukuman 2 (dua) tahun penjara bagi
terdakwa Tajul Muluk. (Bersambung).
loading...
Posting Komentar untuk "Menimbang Pemenuhan Unsur Penodaan Agama Dalam Kasus Ahok"