Terbukti Ahok Bukan Penista Agama
Tulisan
ini sedianya akan menjadi bagian kedua
dari tulisan pertama saya yang berjudul “Menimbang Pemenuhan Unsur Penodaan
Agama dalam Kasus Ahok (1)” yang dimuat sebelumnya.
Namun mencermati perkembangan sidang kasus dugaaan penodaan agama tersebut,
terlebih setelah mencermati pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) saya
berkeyakinan tidak perlu lagi meneruskan pembahasan apakah terpenuhi unsur
tindak pidana sebagaimana dakwaan yang ditujukan kepada Gubernur Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok).
Faktanya
dalam tuntutan, JPU tidak lagi menuduh Ahok melakukan penodaan/penistaan agama
sebagaimana dimaksud pasal 156 a KUHP. JPU
hanya menuntut Ahok telah melakukan tindak pidana ujaran kebencian terhadap
golongan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 KUHP. Golongan tertentu
yang dimaksudpun bukan pula yang berkaitan dengan agama tertentu tetapi golongan
yang dimaksud adalah golongan/kelompok politisi/elit politik.
Dalam
uraian tuntutannya tegas JPU menyatakan bahwa mengacu pada buku yang pernah
ditulis Ahok yang menceritakan bagaimana segolongan elit politik/politisi
menggunakan surat Al Maidah ayat 51 sebagai alat untuk menjatuhkan lawan
politik yang non muslim. Dalam pengalamannya mengikuti Pilkada Bangka Belitung secara
nyata Ahok mengalami hal itu sehingga dia kalah dalam kontestansi memperebutkan
kursi Gubernur Bangka belitung ketika itu.
Padahal
sebelumnya dalam dakwaan alternatif kedua yaitu pasal 156 KUHP tersebut, JPU
dengan tegas menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan salah satu golongan yang dimaksud dalam pidato Ahok tersebut
adalah pemeluk dan penganut agama Islam sebagai salah satu golongan rakyat
Indonesia seolah-olah adalah orang yang membohongi dan membodohi dalam
menyampaikan kandungan surat Al Maidah ayat 51.
Beberapa
kalangan mengkritik konstruksi tuntutan JPU yang hanya membatasi golongan
rakyat yang dimaksud adalah kelompok rakyat yang beragama Islam apalagi hanya sebatas kalangan politisi yang
berkepentingan dalam sebuah kontestasi politik pemilihan kepala daerah.
Menurut
pakar hukum pidana, Chairul Huda
seharusnya tuntutan JPU tetap menggunakan pasal penodaaan agama sebagaimana dimuat dalam
pasal 156 a KUHP. Alasannya ujaran Ahok yang ditujukan kepada politisi
kompetitornya dalam Pilkada, secara dolus
eventualis akan terkena juga ulama
yang mendakwahkan surat Al Maidah 51. Akibatnya menurut JPU yang diserang adalah
golongan rakyat yang beragama Islam. Padahal subyek pengguna ayat tersebut
mulai dan berpangkal dari Rasul Muhammad SAW yang notabene termasuk dalam representasi
agama Islam. Sehingga perbuatan Ahok
seharusnya juga termasuk kualifikasi pasal 156 a KUHP.
Barangkali
ada yang sependapat dengan pemahaman di atas.
Akan tetapi yang lebih menarik menurut saya, ternyata kemudian dalam tuntutannya seolah JPU
menggunakan pendekatan yang disebut dengan tabayun sebagaimana yang seharusnya digunakan MUI
sebelum mengeluarkan fatwa yang nyatanya tidak digunakan dalam memberikan
pendapat dan sikap keagamaan terkait ujaran Ahok yang dinilai kontroversial
tersebut.
Dengan
arif JPU melakukan konfirmasi dan mendalami lebih jauh hal-hal apa yang
sesungguhnya melatar belakangi sampai Ahok mengeluarkan ujaran yang demikian.
Hingga akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa sebenarya Ahok tidak bermaksud
menista agama, Ujarannya lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok politisi
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan dan uraian teks dalam buku yang rupanya
juga telah dihadirkan Ahok dalam persidangan.
Sekaligus
hal ini menurut saya sejalan dengan keterangan saksi ahli Ustadz Ishomuddin
yang diajukan Ahok dalam
persidangan. Akibat tidak melakukan tabayun (klarifikasi) dalam menyikapi
pidato Ahok sehingga MUI sampai pada
kesimpulan yang terburu-buru dan prematur bahwa perbuatan Ahok tergolong
penistaan terhadap agama (Islam).
Akan
tetapi menurut seorang teman yang juga adalah jaksa yang kebetulan pernah
berdiskusi langsung dengan Koordinator JPU kasus Ahok, Ali Mukartono menulis
pada status media sosialnya yang pada
intinya memahami pilihan beliau dan timnya atas pasal yang pada akhirnya
digunakan menuntut Ahok sebagai sebuah pilihan profesional karena memang proses
hukum bukanlah untuk memenuhi keinginan seseorang atau sekelompok orang karena
intinya adalah mencari kebenaran materiil.
Saya
lebih sependapat dengan pemahaman ini. Terlepas dari sikap terburu-buru
Kejaksaan dalam menaikkan perkara ini ke pengadilan, pada akhirnya saya melihat
bahwa JPU dihadapkan pada serangkaian fakta dalam persidangan yang pada
akhirnya membuatnya harus mengikuti fakta tersebut sekalipun pada akhirnya akan
bertentangan dengan keinginan sebagian pihak.
Pada
sisi lain menurut saya tuntutan pasal 156 KUHP yang digunakan JPU seolah
mengkonfirmasi kebenaran akan kekuatiran saya dan sebagian orang lainnya yang
menilai bahwa proses hukum kasus Ahok ini tak lebih dan tak bukan karena
besarnya tuntutan di luar kepentingan penegakan hukum.
Namun
juga lebih dari itu tuntutan hukuman percobaan yang dituntut JPU meneguhkan
keyakinan saya bahwa Kejaksaan atau sekurang-kurangnya tim JPU dalam perkara aquo sesungguhnya tidak terlalu yakin apa benar ujaran yang
disampaikan Ahok daam pidato di pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tersebut telah
memenuhi unsur pidana dan telah melanggar pasal 156 KUHP.
Berbagai
kemungkinan memang bisa dikemukakan. Tetapi kita tentunya berharap semoga
Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan hukum dengan seadil-adilnya tanpa juga harus takut
bertentangan dengan keinginan pihak manapun juga.
Depok,
21 April 2017
Posting Komentar untuk "Terbukti Ahok Bukan Penista Agama"