Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Skandal E-KTP dalam Negara Hukum yang Gagal



Saya kira gagalnya negara hukum salah satunya adalah ketika para sarjana hukum, master hukum, doktor hukum bahkan mungkin profesor hukum sudah mengklaim dan menvonis seseorang bersalah padahal hakimpun belum menjatuhkan putusan apalagi berkekuatan hukum tetap. 


Mungkin ada yang sepakat dengan pernyataan di atas seraya membenarkan  bahwa betapa asas praduga tidak bersalah sepertinya telah dilupakan.  Sebalikmya yang lain mungkin mempertanyakan  pernyataan  di atas sebagai suatu  kesinisan terhadap kebebasan intelektual dan kebebasan berfikir.  Sebab mungkin menurutnya tidak ada yang salah dari perdebatan yang ilmiah berperadaban di luar proses pengadilan.
Memang tak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah klaim.  Mereka yang punya pandangan lain berkesempatan luas untuk memberikan tanggapan dan  dalil-dalil bantahan.  Sementara kebebasan dan independensi hakim berada pada posisi yang tinggi yang tidak akan terpengaruh oleh perdebatan di luar pengadilan.  


Justru gagalnya negara hukum ketika hukum menghamba pada kekuasaan. Sehingga kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, dan perdebatan ilmiah intelektual sudah tidak mendapat tempat lagi dalam kehidupan bernegara.  Begitu kira-kira tanggapan seorang teman  saat kegalauan tersebut saya share  di media sosial.

Sejatinya saya sependapat dengan tanggapan tersebut. Namun tentunya kebebasan berpikir dan intelektualitas sangatlah berbeda dengan klaim kebenaran dan penjatuhan vonis.  Kalau dalil ilmiah yang dikedepankan tentunya tak ada klaim kebenaran sepihak. Yang mungkin adalah semua bisa benar atau semua bisa salah,  sepanjang argumentasi ilmiahnya tersedia.

Namun sesunguhnya postingan saya tersebut beragkat dari kegalauan mencermati entah berapa banyak rekan-rekan seprofesi, se- almamater yang gelar hukumnya sudah berderet-deret yang dengan mudahnya menyebut seseorang telah bersalah sebagai penista agama dan menyerukan penjatuhan hukuman seberat-beratnya  padahal proses hukum baru saja dimulai.
Parahnya kemudian kegalauan saya akan terlupakannya asas praduga tidak bersalah dalam penegakan hukum tersebut justru dinilai sebagai pembelaan membabi buta terhadap orang yang tak seiman sampai juga kemudian mempertanyakan pula keimanan saya.  Sesuatu yang menurut saya sudah mengambil otoritas Sang Maha Pencipta.

Namun kegalauan saya dibuat semakin menjadi ketika menyaksikan Wakil Ketua DPR, Fahri  Hamzah meminta Ketua KPK Agus Raharjo mundur dari jabatannya. Fahri Hamzah menuding ada konflik kepentingan yang bersangkutan dalam mengusut kasus dugaan korupsi KTP Elektronik.

"Ada indikasi kasus ini ada konflik kepentingan antara Agus Rahardjo sebagai mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dalam keterangan juga Agus punya kepentingan terhadap pengusaha dan dia termasuk membawa pengusaha bertemu dengan Gamawan Fauzi," kata Fahri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/3).

Fahri juga menuding Agus juga terlibat dalam melobi konsorsium. Dia mengharuskan kasus ini bisa diinvestigasi lewat angket di DPR. Sebagaimana ditulis www.kumparan.com , 14/3/2017.

Memang, dalam sidang pembacaaan dakwaan skandal korupsi KTP Elektronik, Jaksa KPK  menyebut betapa hampir setengah dari anggaran proyek tersebut telah menjadi Bancakan Nasional,  dibagi dengan suka cita oleh beberapa elemen yaitu pihak pengusaha, kalangan pejabat Kemendagri dan puluhan anggota dan mantan anggota DPR termasuk juga elit partai politik.  Dari kalangan pejabat pemerintahan sendiri selain dua terdakwa yang sudah disidangkan perkaranya,  dakwaan menyebut juga mantan Mendagri Gamawan Fauzi menikmati bancakan tersebut dan dari kalangan DPR dalam surat dakwaaan juga disebut nama Ketua DPR, Setya Novanto.

Alih-alih mendapat dukungan publik, pernyataaan Fahri Hamzah tersebut justru dapat dinilai sebagai bentuk perlawananan atas proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Sederhananya saja menurut saya betapa Fahri Hamzah tidak menghargai dan menghormati kerja keras KPK bertahun-tahun lamamya  dalam mengungkap skandal  yang diduga merugikan negara sebesar 41% dari Rp.  5,9 trilyun anggaran proyek tersebut. Dan kalau benar DPR setuju menggelar Hak Angket atas perkara tersebut maka artinya secara kelembagaan DPR telah menunjukkan perlawanan atas kerja-kerja KPK dan tentunya hal ini melebihi dari perlawanan sebelumnya dari sesama instansi penegak hukum  sebagaimana kasus Cicak VS Buaya yang pernah terjadi.

Betapa mudahnya  seorang petinggi DPR menuding ada konflik kepentingan Ketua KPK dalam perkara ,  mengatakan Agus Raharjo membawa pengusaha bertemu dengan Gamawan Fauzi bahkan Fahri juga menuding Agus juga terlibat dalam melobi konsorsium tanpa memiliki bukti hukum yang jelas. Menurut saya  secara hukum penyataan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana pencemaran nama baik atas kelembagaan KPK.

Saya rasa belum pada tempatnya tuduhan-tuduhan tersebut dikemukakan kepada publik. Kalaulah DPR sendiri yang telah memberikan kepercayaan kepada seluruh anggota KPK yang menjabat sekarang  melalui fit dan proper test yang telah dilakukan justru meragukan kerja-kerja KPK, bagaimanakah mungkin publik dapat mempercayai proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.

Kalaulah kerja KPK saja selalu dicurigai bagaimanakah kita percaya juga akan proses hukum yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaaan yang tingkat kepercayaannya dimata publik berada di bawah KPK?

Diantara  beberapa faktor yang turut menyumbang terciptanya budaya kekerasan kolektif adalah makin pudarnya rasa hormat dan rasa percaya terhadap institusi hukum merupakan faktor yang selalu muncul. Hal ini sebagai analisis atas gagalnya pembangunan hukum yang berdampak pada pecahnya berbagai kerusuhan pada momen yang dikenal sebagai Reformasi 1998 tersebut (Andrinof A Chaniago, 2012, hal.231-232).

Bukan maksud saya  terlalu mengkuatirkan akan terjadinya amuk massa sebagai mana yang terjadi pada 13-14 Mei 1998 tersebut.  Namun bukan tidak  mungkin hal tersebut bisa terakumulasi kembali apabila kalangan elit politik  dan  yang seharusnya bersikap selaku negarawan yang harus melepaskan diri dari kepentingan pribadi dan golongan justru menyulut ketidakpercayaan publik terhadap proses penegakan hukum yang menurut saya saat ini terus berupaya berbenah dan terus dibenahi.  

Begitu juga tentunya terhadap kalangan yang terdidik secara hukum yang paham betul bagaimana proses hukum ditegakkan tanpa harus menuding seseorang bersalah sebelum selesainya proses hukum yang dijalankan aparat penegak hukum.

Tindakan paling elegan adalah tetap mengawal proses penegakan hukum baik yang dilakukan KPK maupun instansi penegak hukum lainnya tanpa harus terlalu mencampuri apalagi terkesan  mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung.

Khusus menyangkut skandal KTP elektronik, kalaulah hak angket tetap  digelar menurut saya DPR tidak saja seperti menepuk air di dulang tetapi lebih dari itu ibarat menepuk minyak panas dalam kuali yang masih ada api menyala di bawahnya. Tindakan menggelar Hak  Angket justru akan menyakiti  tangan dan wajah Senayan sendiri.  Percayalah.

Depok, 16 Maret 2016
loading...

Posting Komentar untuk "Skandal E-KTP dalam Negara Hukum yang Gagal"