Merdekakan Papua Dari Freeport
Salah satu perubahan mendasar sebagai bentuk perubahan
politik hukum Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan adalah penghapusan
kontrak karya dalam kerjasama pengelolaan mineral. Melalui UU No.4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara rezim kemitraan antara Pemerintah
dengan pihak swasta dalam pengelolaan pertambangan dihapus dan dijadikan sistem
perizinan.
Sistem perizinan kembali menegaskan bahwa posisi Negara melalui Pemerintah tidak lagi sejajar dengan pihak swasta dalam pengelolaan pertambangan, Pemerintah berwenang mengeluarkan izin sepanjang pihak swasta selaku pemohon izin memenuhi persyaratan tertentu yang telah diatur dalam UU. Pemerintah juga berwenang mencabut izin tersebut apabila syarat-syarat tersebut tidak lagi dipenuhi oleh penerima izin.
Lalu bagaimana kedudukan kontrak karya tersebut setelah
berlakunya UU No.4 tahun 2009 tersebut?
Pasal
169
UU No.4 tahun 2009 mengatur bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian karya pergusahaanpertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlaltukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal k0ntra. Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali rrengenai penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
Selanjutya Pasal 170 mengatur bahwa pemegang kontrak karya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 169 yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimaria dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Kemudian Pasal 171 UU yang sama menegaskan pemegang kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan
pertambangan batubara sebagairnana dimaksud
dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi
paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini hams
menyampaikan rencana
kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian
sampai dengan jangka waktu berakhirnya
kon trak/ perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah.
Akan tetapi setelah lebih dari 5 (lima) tahun berlakunya
UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tampaknya belum
semua ketentuan tersebut di atas dapat diterapkan secara maksimal. Salah satu
kontroversi yang tengah berlangsung saat ini adalahh penolakan dari PT Freeport
Indonesia terkait penerbitan Izin Usaha Pertambangan sebagai pengganti Kontrak
Karya antara Pemerintah dengan Freeport
Pemberlakuan UU
VS Dampak Ekonomis
"Posisi kami tidak menerima izin
yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan melepas status dari Kontrak
Karya," tutur Chief Executive Officer
(CEO) Freeport McMoRan Richard C. Adkerson
sebagaimana
diberitakan Liputan6.com, 21 Februari 2017.
Freeport
telah melayangkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM. Surat tersebut berisi
pandangan perusahaan mengenai berubahnya status
KK dengan IUPK. Selain itu, surat tersebut juga berisi tanggapan dari Freeport
mengenai keputusan pemerintah memberikan izin ekspor konsentrat.
"Kami mengirim surat kepada
Menteri ESDM yang mana surat itu menunjukan perbedaan KK dengan IPK. Di situ
ada waktu 120 hari dimana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan
perbedaan-perbedaan. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan, dengan begitu
Freport bisa melaksanakan haknya menyelesaikan perbedaan tersebut memulai
proses untuk melakukan arbitrase," tutup Adkerson. (liputan6.com, 21 Februari 2017)
Penolakan tersebut juga diiringi dengan sikap perlawanan
PT Freeport yang kemudian melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
besar-besaran terhadap karyawannya yang sebagian besar adalah warga negara
Indonesia. Menteri Tenaga Kerja, Muhammad Hanif Dakhiri mendesak manajemen PT
Freeport Indonesia agar tidak memakai pemecatan massal karyawannya sebagai alat
untuk menekan pemerintah selama proses negosiasi perizinannya berjalan. (tirto.id, 24
Maret 2017).
Namun lebih dari itu ternyata kisruh PT Freeport ini juga
sepertinya akan membawa pengaruh besar pada perekonomian Papua khusunya. Efek domino krisis
perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia dikhawatirkan kalangan perbankan
di Timika bisa memicu timbulnya krisis ekonomi di Kabupaten Mimika dan Papua
pada umumnya.
Pejabat Sementara Kepala Bank Papua
Cabang Timika Joko Suparyono, di Timika, Selasa (7/3/2017),
mengatakan keberadaan PT Freeport selama ini memiliki dampak sangat besar bagi
pertumbuhan ekonomi di wilayah Mimika, termasuk perbankan. Jika krisis Freeport terus
berlanjut dan semakin banyak karyawan yang di-PHK maka hal itu memicu krisis
ekonomi di wilayah Mimika.
"Kami tentu berharap perundingan
antara pemerintah dengan pihak Freeport bisa mencapai titik temu. Jika Freeport
menyetujui opsi-opsi yang ditawarkan pemerintah, tentu ke depannya pembangunan
Papua akan lebih baik," kata Joko, seperti diberitakan Antara. "Tapi kalau
tidak ada titik temu, permasalahan ini akan bertambah panjang dan berdampak
luas terhadap perekonomian di Mimika. Tentu yang paling terkena imbasnya adalah
perbankan," kata Suparyono.
Menghadapi
Perlawanan
Bagaimanakah sebaiknya sikap dan langkah yang diambil
Pemerintah terkait dilema penerapan sisten perizinan dalam pengelolaan mineral
di Indoensia? Penolakan Freeport nampaknya masih akan berlanjut, Sekalipun
telah ada pembicaraan antara Pemerintah khususnya Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Wakil Presiden Amerika Serikat dalam
kunjungannya beberapa minggu yang lalu ke Indonesia. Bahkan dikabarkan pula
setelah itu Menlu Retno Marsudi telah berangkat ke Amerika guna meneruskan
pembicaraan tersebut.
Di sisi lain dampak perekonomia khususnya menyangkut PHK
massal yang telah dilakukan PT Freeport terhadap ribuan karyawannya secara
nyata telah juga menimbulkan gejolak sosial.
Pada prinsipnya Pemerintah tetap menghormati Kontrak
Karya yang masih berlaku sesuai amanat UU No.4 tahun 2009. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No
1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit
sebelumnya. Dengan
mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah tetap menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dan masih
sah berlaku.
"Atas dasar itu semua pemegang
Kontrak Karya (KK) dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan TIDAK wajib
mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang
pemegang KK tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam
jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan pasal
170 UU No 4/2009)," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius
Jonan, dalam keterangan tertulis Sabtu (18/2/2017).
Dengan fakta bahwa pemegang KK belum
melakukan hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka
pemerintah menawarkan kepada semua pemegang KK yang belum melakukan hilirisasi
(membangun smelter) untuk mengubah KK menjadi IUPK. Dengan demikian sesuai
Pasal 102-103 UU No 4/2009, mereka akan tetap mendapat izin melakukan ekspor
konsentrat dalam jangka waktu 5 tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan.
"Namun mereka tetap diwajibkan
membangun smelter dalam jangka waltu 5 tahun. Progres pembangunan smelter akan
diverifkasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. Jika progres tidak
mencapai minimal 90% dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut,"
terang Menteri ESDM, Ignasius Jonan. (Detik.com, 18
Februari 2017).
Berbeda dengan PT Freeport, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT)
telah menyatakan terima kasih atas persetujuan Pemerintah mengubah perjanjian
KK menjadi IUPK. PT AMNT telah mengajukan permohonan rekomendasi ekspor No
251/PD-RM/AMNT/II/2017 disertai pernyataan komitmen membangun smelter. Atas
dasar itu Dirjen Minerba telah menerbitkan rekomendasi ekspor No
353/30/DJB/2017 pada Jumat (17/2/2017).
Sementara PT Freeport Indonesia (PTFI) menolak perubahan dari KK
menjadi IUPK. Sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM,
Kementerian Keuangan, dan PTFI, pemerintah telah memberikan hak yang sama di
dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi
perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK
diterbitkan. (Detik.com, 18 Februari 2017).
Hal lain yang
menjadi keberatan Freeport adalah tentang kewajiban pengalihan (divestasi)
saham sebesar 51% kepada Pemerintah sebagaimana tercantum pengaturannya dalam PP No 1/2017/. Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak
Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan
bawah tanah. Namun, divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang
ditegaskan oleh Presiden Jokowi, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah
sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat
Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai Pemilik tambang
emas dan tembaga terbesar di Indonesia.
Begitu juga
halnya dengan pengenaan tarif
pajak prevailing atau tarif pajak mengikuti peraturan yang tidak lagi
mengikuti tarif nail down atau pajak tetap seperti dalam Kontrak Karya juga suatu hal
menjadi keberatan PT Freeport.
Terkait wacana PTFI
membawa persoalan ini ke arbitrase, itu adalah langkah hukum yang menjadi hak
siapa pun. Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum,
karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah
relasi kemitraan. Namun, itu langkah yang
jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat
menekan Pemerintah. Korporasi global semestinya selalu memperlakukan
karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk
memperoleh keuntungan semata. Demikian sikap tegas Pemerintah terkait kisruh
perubahan kontrak karya dan divestasi saham
PT Freeport kepada Pemerintah.
Dukung Daulat Negara Atas SDA
Selama ini banyak desakan
agar kontrak tersebut tidak diperpanjang karena selama ini Indonesia dianggap
dirugikan dengan penerimaan royalti dan pajak yang rendah, pencemaran
lingkungan serta realisasi community development Freeport yang masih
rendah.(kumparan,com, 21 Februari 2017).
Pada sisi regualsi, disahkannya UU No. 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara secara filosofir da juridis ditujukan sebagai
pelaksanaan kongkret dari amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan demi kedaulatan
negara atas kekayaan sumber daya alam dalam upaya menciptakan kesejahterahan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka sudah selayaknya kita ddkung sikap tegas
pemerintah untuk konsisten dalam pelaksanaan UU No.4 tahun 2009 berikut
peraturan pelaksanannya (PP No/ 1 tahun 2017).
Kita berharap
Pemerintah tak gentar terhadap ancaman media Arbitrase Internasional yang akan
dilakukan Freeport karena secara juridis UU yang mengatur tentang pemberlakuan
Kontrak Karya dalam pengelolaan pertambangan mineral sudah tidak berlaku lagi,
telah digantikan dengan UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Perjanjian yang lahir karena
adanya pengaturan dalam UU, otomatis tak lagi dapat dilanjutkan atau dibuat
perjanjian baru sebab UU sebagai dasar pembarlakuan perjanjian tersebut sudah
tidak ada lagi.
Faktanya lagi
memang Kontrak Karya yang berjalan selama ini lebih banyak merugikam Indonesia
serta Papua khususnya yang seperti telah kehilangan kemerdekaan atas wilayah
dan sumber daya alamnya. Mari merdekakan Papua dari Freport sekaligusn
menegakkan daulat Negara atas sumber daya alam (SDA).
Depok, 1 Mei 2017
Posting Komentar untuk "Merdekakan Papua Dari Freeport"