Benarkah Ahok Kalah Karena Sara?
Kalau
benar sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kalah dalam Pemilihan Gubernur
(Pilgub) Bangka Belitung tahun 2007 karena merebaknya isu Suku, Ras, Agama dan
Antar Golongan (SARA) ketika itu, maka artinya Pilgub Jakarta ini adalah kali kedua dia terjungkal karena isu
yang sama.
Tapi
pertanyaannya kemudian benarkah Ahok kalah karena isu SARA dalam Pilgub
Jakarta?
Isu SARA
Sebagian
kalangan tentu akan membantah tesis akan dominannya isu SARA terhadap
tumbangnya Ahok. Jawaban lain yang mungkin adalah Ahok kalah karena mulutnya
sendiri. Mulutmu harimaumu, begitu kira-kira kesimpulannya.
Jawaban
ini kira-kira akan senada dengan bantahan berbagai kalangan terhadap
pemberitaan media asing terkait hasil Pilgub Jakarta. Politisi Partai Keadilan
Sejahterah (PKS), Hidayat Nur Wahid misalnya, menyayangkan pendapat media-media
barat terhadap pesta demokrasi ibu kota tersebut yang dinilai kental dengan isu
SARA.
“Menurut
mereka itu adalah kemenangan radikalis atas kaum modernis. Sangat disayangkan.
Oleh karena itu saya bilang media barat perlu belajar demokrasi dari Indonesia.
Media barat perlu belajar komunikasi massa dari media Indonesia,” ujar pria
yang akrab dengan inisial HNW sebagaimana dilansir situs www.hidayatullah.com, 21 April 2017.
Namun
ternyata tidak satu dua media asing yang berpendapat miring. Media Arab Al-Jazeera
juga menilai kekalahan Ahok dan kemenangan Anies
Baswedan diartikulasikan dalam
terminologi atau diksi yang dikaitkan dengan masalah agama dan ras oleh
sejumlah media asing arus utama.
Lebih
jauh media berbasis di Doha, Qatar tersebut menulis, Ahok
yang sedang “diadili karena penistaan” agama kalah dari Anies "setelah
kampanye agama yang memecah belah”.
Dari
hasil penghitungan cepat oleh 10 lembaga survei, “gubernur Kristen di ibu kota
Jakarta” kalah telak setelah “kampanye yang dimulai dengan perbedaan agama dan
rasial di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia itu," demikian
menurut pemberitaan Al
Jazeera, 19 April 2017 (www.kompas.com, 20/4/2017). Hal senada juga ditulis media lain seperti The Newyork Times.
Berbeda
dengan pemberitaan di atas,
menurut
Dr. Kamarudin pengajar pada jurusan Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP-UI), ada dua faktor yang menyebabkan Anies-Sandi menang di
putaran kedua.
Pertama,
warga Jakarta menginginkan perubahan atau gubernur baru. Dan kedua, pendukung
Ahok kalap setelah mengetahui berbagai lembaga survei menyatakan suara Ahok di
bawah Anies. Mereka lalu bagi-bagi sembako secara struktur dan masif.
Tak
bisa dipungkiri, katanya, ada pendukung Ahok yang idealis, yang tidak setuju
dengan cara bagi-bagi sembako yang dilakoni Ahok itu. Selain itu, Limpahan
suara pendukung Agus-Silvi dan blunder kubu Ahok menjelang pemilihan
dengan membagi-bagi sembako dinilai ikut menjadi faktor kemenangan Anies-Sandi.
Benarkah demikian adanya?
Kronologi Ketumbangan
Bila
mencermati perkembangan Pilgub Jakarta, tuduhan penodaan agama oleh Ahok
pertama kali muncul setelah Buni Yani mengupload potongan pidato Ahok di pulau
Pramuka Kepulauan Seribu pada 6 Oktober 2016. Bagian yang diupload hanyalah
yang berisi ujaran Ahok yang pada
intinya mengingatkan agar jangan mau dibohongi pakai Almaidah ayat 51. Namun
problemnya kemudian dalam transkrip yang dimuat dalam medsos tersebut kata “pakai”
dalam kalimat tersebut dihilangkan. Kemudian upload video pendek tersebut ditambahkan
pertanyaan yang dinilai bernada provokatif yang kira-kira berbunyi bukankah ini
penistaan agama?
Sebelumnya
video lengkap rekaman pidato Ahok di Pulau Pramuka tersebut sudah dimuat di
situs youtube oleh Pemrov Jakarta. Namun kehebohan faktanya memang baru muncul
setelah Buni Yani mengupload potongan video tersebut.Saat ini Buni Yani juga
menjadi tersangka dalam dugaan pidana menyebar ujaran kebencian melalui meda
elektronik.
Sejak
itulah seolah gelombang “kemarahan” umat Islam muncul jilid berjilid dengan
serangkaian aksi massa yang dilakukan. Bayangkan saja setelah itu tidak kurang
dari 14 laporan pidana dilayangkan ke Kepolisian, tidak hanya oleh mereka yang
merupakan warga Jakarta tetapi juga warga dari luar Jakarta atas nama pribadi, lembaga ataupun mengatasnamakan umat Islam.
Laporan ini mungkin laporan terbanyak sepanjang sejarah penegakan hukum pidana
di Indonesia.
Proses
hukum akhirnya mendudukan Ahok sebagai terdakwa kasus penistaan agama. Setelah
berlangsungnya gelar perkara yang sifatnya terbuka terbatas dengan hasil yang
tidak bulat : adaya beda pendapat (disenting opinian) diantara penyidik
sendiri), tahap selanjutnya bergulir demikian cepat, sangat berbeda dengan
proses hukum pidana lainnya. Selain itu barangkali inilah kasus dengan gelar perkara yang paling istimewa pernah
terjadi dalam sejarah proses penyidikan di Indonesia dengan adanya prinsip
terbuka terbatas dan disenting opinion tersebut.
Pada
saat yang bersamaan proses pemilihan Gubernur dimana Ahok sebagai salah seorang
kandidat Gubernur berpasangan dengan Jarot Saiful Hidayat sebagai calon Wakil
Gubernur terus berlangsung berhadapan dengan dua pasangan lainnya Anies – Sandi
dan Agus – Silvi.
Setelah
hasil pencoblosan tanggal 15 Februari 2017 sekalipun pasangan Ahok – Jarot
unggul dalam perolehan suara, namun tidak satupun pasangan yang berhasil meraih
suara lebih dari 50%. Padahal sebagian besar lembaga survei menyatakan pasangan
Ahok – Jarot selalu unggul bahkan survei tingkat kepuasaan terhadap kinerjanya
selalu di atas 70% tetap saja tak bisa menjadikannya dapat meraih suara lebih dari 50%.
Sesuai
aturan, pemungutan suara tahap kedua pun harus dilakukan untuk menentukan dan
memastikan pemenang akhir Pilgub. Pasangan Agus – Silvi tidak ikut karena
perolehan suaranya paling rendah. Tinggallah pasangan Ahok – Jarot dan Anies –
Sandi bertarung memperebutkan limpahan suara dari pemilih Agus – Silvi yang
harus tumbang pada putaran sebelumnya.
Seiring
berjalannya proses persidangan Ahok, Pilgub putaran kedua pun terus berjalan
sampai akhirnya pada tahap pemungutan suara berdekatan waktunya dengan
pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Ahok. Seharusnya
jadwal pembacaan tuntutan dilakukan sebelum pencoblosan 19 April 2017. Namun
karena ketidak siapan JPU sidang pembacaan tuntutan baru dilakukan pada 20
April 2017, sehari setelah pemungutan suara.
Pasca
pencoblosan, hasil hitung cepat menunjukkan Ahok harus mengakui kekalahan dari
lawannya. Sementara sehari sesudahnya dalam
tuntutanya JPU tidak lagi menuntut Ahok dengan pasal penistaan agama (pasal 156
a KUHP) tetapi dengan pasal alternatif kedua yaitu pasal 156 KUHP tentang
ujaran kebencian terhadap golongan tertentu.
Memang
bila dicermati, mendekati pencoblosan , sekalipun tingkat kepuasaan terhadap
kinerja Ahok masih di atas 70% namun menurut sebagian besar hasil survei menunjukkan
perolehan suara Ahok- Jarot memang berada dibawah Anies – Sandi. Setelah
pemungutan suara dilakukan selisih perolehan suara ternyata mencapai hampir 15%
unggul pasangan Anies – Sandi.
Kelindan Emosional dan Isu
SARA
Mercermati kronologis di atas, sulit membantah
bahwa tidak ada kaitannya antara status terdakwa yang disandang Ahok sebagai
buah atas dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepadanya terhadap
kekalahannya dalam Pilgub.
Tidak
juga ada yang dapat membantah bahwa cepatnya proses hukum terhadap Ahok tak
lain karena kuatnya desakan dan tekanan massa dalam serangkaian aksi yang
digelar sebagian anggota masyarakat. Kapolri pun mengakui seharusnya
berdasarkan kebijakan Kapolri laporan pidana terhadap kandidat yang sedang
mengikuti Pilkada seharusnya ditunda prosesnya sampai pilkada selesai untuk
menghindari dan mengantisipasi kecenderungan proses hukum hanya dijadikan alat
untuk menjegal lawan politik. Namun Kebijakan itu terpaksa diterobos mengingat
besarnya tuntutan dan tekanan massa ketika itu.
Bersamaan
dengan berjalannya proses hukum atas Ahok, kampanye jangan pilih non Muslim
dalam pilkada bahkan sampai kepada tahap yang juga menyudutkan warga Muslim
simpatasan maupun pendukung Ahok faktanya begitu gencar di tengah masyarakat
Jakarta. Banyak masjid memasang spanduk yang melarang mensholatkan Muslim
pendukung Ahok.
Pada
bagian lain hasil survei berbagai lembaga menunjukkan tingkat elaktabilitas
Ahok semakin menurun mendekati tahap akhir pilkada putaran kedua.
Saya
percaya isu SARA yang diangkat sedemikian masifnya sangat berpengaruh atas
kekalahan Ahok tetapi hal itu bukanlahh faktor tunggal. Faktor lain yang juga
dominan adalah faktor emosional yang telah terakumulasi terutama sejak Ahok
menggantikan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.
Kebijakan
Ahok yang kemudian begitu berambisi merubah wajah Jakarta dengan maraknya
pengusuran atas sebagian warga Jakarta antara lain kampung Pulo, kawasan Bukit
Duri dan berbagai tempat lainnya
meninggalkan luka yang secara emosional mungkin masih berbekas hingga saat ini.
Tindakan
penggusuran tersebut seakan segaris dengan image
kepemimpinan keras yang terlihat cenderung vulgar ditampilkan Ahok. Sikap Ahok tidak
kenal kompromi terhadap siapapun yang dihadapinya namun pada bagian lain
dinilai tidak mampu mengontrol ucapan sehingga terdengar kasar, tidak sopan dan
melanggar etika. Padahal pakemnya seorang
peminpin tidak bisa begitu.
Hal-hal
negatif tersebut terekam kuat dalam ingatan sebagian warga tidak hanya oleh warga Jakarta tetapi tentunya juga oleh
mereka yang berada dalam lingkaran birokrasi Pemda Jakarta yang sebagian
terkena akibat langsung oleh sikap tegas yang kemudian juga cenderung dimaknai
arogan tersebut.
Pada
akhirnya faktor emosional tersebut berkelindan kuat dengan kemasan isu
penistaan dan penodaan agama, tentang kewajiban Muslim memilih Muslim sebagai
peminpin, juga tentunya soal pribumi dan non pribumi khususnya soal etnis China
dan bukan.
Terkait
soal emosional ini menurut saya juga terkonfirmasi dan diyakini sendiri
kebenarannya oleh Ahok ketika menjawab salah satu stasiun tv tak lama setelah
dia mengucakan selamat atas kemenangan rivalnya. Pada intinya Ahok mengatakan
bahwa ke depan dia harus lebih bisa menjaga sikap dan lisannya.
Namun
apapun prosesnya sejauh ini Pilkada DKI secara formal hukum legitimasinya belum
ternoda. Kita harus apresiasi kerja keras berbagai pihak khusunya penyelenggara
dan aparat keamanan atas terselenggaranya perhelatan Pilkada rasa Pilpres ini
dengan aman dan tertib. Siapapun Gubernurnya yang secara fakta menang dalam
proses demokrasi selayaknya didukung untuk membuat Jakarta lebih baik lagi ke
depan. Semoga.
loading...
Posting Komentar untuk "Benarkah Ahok Kalah Karena Sara?"