Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syahwat Eksploitatif dan Obral Izin Tambang

Foto : Pertambangan timah di Pulau Bangka, Sumber  ©Reuters/Michael Taylor (ww.merdeka.com, 11 Februari 2014).

Ternyata di tengah kisruh pengalihan Kontrak Karya (KK)  Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), telah terbit 42 IUP dan 1 KK di bekas konsesi KK Freeport. Izin dan KK tersebut menduduki bekas wilayah pertambangan Freeport yang dilepas pada saat KK kedua diteken pada 1991. Di atas lahan seluas 1,4 juta hektar sejumlah perusahaan mendapat izin eksplorasi. Izin tersebut diteken Gubernur Papua sepanjang 2006-20012.

Sedangkan 1 (satu) Kontrak Karya atas nama PT Nabire Bakti Mining ternyata memiliki konsesi KK berdasarkan SK 308 .K/30.00/DJB/2008 seluas 269.858 hektar untuk komoditas pertambangan  mineral emas  dengan status studi kelayakan. (Tempo, edisi 6-12 Maret 2017).

KK tersebut terbit tahun 2008 tentunya hanya hitungan beberapa bulan sebelum disahkannya UU N.4 tahun 2009 tentan Pertambangan Mineral dan Batubara, 12 Januari 2009.

Terlihat betapa Pemerintah tak ingin menghilangkan kesempatan untuk tetap mengeluarkan KK sebelum rezim sistem kerja sama eksploitasi tambang ini diakhiri dengan pemberlakuan UU No.4 tahun 2009.

Obral IUP

Di Sumatera Barat, sejak disahkannya UU No.4 tahun 2009 telah diterbitkan  360 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dari 360 IUP yang diserahkan Kabupaten/Kota untuk dievaluasi Pemda Provinsi Sumatera Barat, 7 di antaranya masih menunggu pengumuman dari Dirjen Minerba, 159 di antaranya telah dinyatakan Clean and Clear (CnC). Dengan kata lain, 159 IUP ini telah mengantongi status izin yang benar, tidak menyalahi aturan, dan wilayah operasinya tidak bersinggungan dengan perusahaan atau IUP lain atau kawasan konservasi alam. Sementara itu, 194 IUP dinyatakan Non-CnC alias belum clear dan kemungkinan tumpang tindih serta tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menyikapi hasil evaluasi ini, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit mempertanyakan, "Di Sumbar, pertambangan tidak sebesar Sumatera Selatan, atau Kalimantan, tapi sudah banyak sekali mengeluarkan IUP. Namun, belum ada yang produksi."(http://www.kabarnagari.com/, 17 Maret 2017).

Bagaimana halnya dengan di daerah lain di Indonesia yang potensi tambangnya lebih besar seperti di Kalimantan dan Sulawesi? Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral setidaknya sampai tanggal 26 Februari 2013  telah terdaftar 10790  izin usaha pertambangan baik yang sudah clean and clear (CNC) maupun yang belum.

Sebagai contoh untuk provinsi Aceh sampai tahun 2013 saja telah ada 146  IUP untuk mineral emas, biji besi, timah dan batubara.  Di Provinsi Sumatera Utara setidaknya telah diterbitkan 109 IUP oleh Pemda Kabupaten/Kota. Sedangkan di Sumatera Barat selain sejumlah izin yang disebutkan di atas tadi  terdapat 5 (lima) IUP yang diterbitkan oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat.  Di Provinsi Riau tercatat 2 (dua) IUP yang diterbitkan oleh Pemda Provinsi Riau.

Daerah lain yang lebih kaya dengan tambang seperti Kalimantan dan Sulawesi sudah barang tentu angkanya akan lebih besar lagi. 

Pentingnya Penataan Wilayah Pertambangan

Berdasarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUP baik untuk Eksplorasi dan Operasi Produksi diberikan oleh bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota. Untuk wilayah IUP yang lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan Gubernur., setelah mendapatkan rekomendasi dari dari bupati/ walikota setempat.

Sedangkan Pemerintah melalui  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berwenang mengeluarkan IUP apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsl yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat.

Terlihat di  situ betapa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang demikian besar dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan. Maka tidak heran dari puluhan ribu izin yang telah diterbitkan merupakan produk Pemda, khususnya  Kabupaten/Kota. Melihat fakta bahwa hampir setengah IUP yang telah diterbitkan ternyata belum produksi sebagaimana yang terjadi di Sumatera Barat, maka menjadi wajar kekuatiran bahwa sepertinya telah terjadi obral yang berlebihan penerbitan izin oleh Pemda Kabupaten/Kota.

Pada sisi lain ketika izin sudah sampai kepada tahap produksi dapat dibayangkan betapa besar tingkat eksploitasi terhadap sumber daya alam yang terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia. Dan berapa pula potensi ancaman kerusakan lingkungan sebagaimana yang sekarang terjadi di Papua dan di beberapa wilayah bekas pertambangan lainnya seperti bekas penambangan timah di Bangka Belitung.

Melihat kecenderungan ini sepertinya apa yang menjadi dasar dan latar belakang utama dari lahirnya UU No.4 tahun 2009 tentang pentingnya dilakukan penataan ulang terhadap sistem dan konsep pertambangan  mineral dan batubara akan semakin jauh panggang dari api.

UU No. 4 tahun 2009 secara tegas memerintahkan perlunya dilakukan  penetapan wilayah pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional. WP akan menjadi landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Penetapan WP dilakukan Pemerintah  setelah  berkoordinasi  dengan  pemerintah daerah dan berkonsultasi  dengan  Dewan Perwakilan  Rakyat. .

Pasal 10 UU No. 4 tahun 2004 menegaskan antara lain penetapan WP dilaksanakan  secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab. Serta yang paling penting adalah penetapan WP harus mempertimbangkan  aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.

Selanjutnya pasal 11 mengamanatkan Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  wajib  melakukan penyelidikan  dan penelitian  pertambangan  dalam rangka penyiapan Wilayah Pertambangan.  Faktanya kemudian Peraturan Pemerintah (PP) tentang Wilayah Pertambangan sebagaimana diamanatkan UU No.4 tahun 2009 baru keluar pada 1 Februari 2010 yaitu melalui PP No.22 tahun 2010. 

Patut digarisbawahi PP tersebut bukanlah tentang penetapan wilayah pertambangan tapi hanyalah sebagai aturan pelaksana tentang bagaimana penetapan WP dilakukan.  Artinya sudah dapat dipastikan ketika puluhan ribu IUP tersebut terbit setelah keluarnya UU No. 4 tahun 2009  belum ada penetapan wilayah pertambangan yang memetakan dengan jelas dan kongkret mana yang merupakan wilayah usaha pertambangan (WUP), mana yang merupakan wilayah pertambangan rakyat (WPR) dan mana yang merupakan wilayah pencadangan negara (WPN).   

Jika demikian faktanya maka sangat diragukan bahwa seluruh izin yang dikeluarkan Pemerintah,  Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota telah mengacu kepada penetapan wilayah pertambangan. Faktanya pun tidak jelas apakah sudah benar ada upaya untuk menetapkan wilayah pertambangan sebagaimana amanat UU kepada Pemerintah.

Kita sepakat bahwa daulat atas sumber daya alam harus dikembalikan kepada daerah dan dilaksanakan dengan visi kesejahterahan rakyat banyak. Tapi tentunya kita tak ingin penerbitan izin yang serampangan kembali menyebabkan sesat kelola atas potensi sumber daya alam kita yang masih berlimpah. Karena sesat kelola sumber daya alam pada akhirnya hanya akan melanggengkan kemiskinan rakyat  dan pada sisi lain menguntungkan segelintir elit. Semoga tak terus berlanjut.


Depok, 5 Mei 2017  

Posting Komentar untuk "Syahwat Eksploitatif dan Obral Izin Tambang"