Peluang Kemenangan Uji Materi Perppu Ormas
Sidang perdana uji materi Perppu Ormas di MK, sumber www.metrotvnews.com |
Kondisi ini dinilai telah terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif terhadap Ormas yang dinilai menyimpang. Ditambah lagi dengan fakta adanya ormas yang dalam kegiatannya dinilai Pemerintah tidak sejalan dengan asas pendirian yang telah terdaftar dan telah disahkan Pemerintah.
Serta secara faktual terbukti ada asas ormas dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan dari sisi legislasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas belum menganut asas contrarius actus sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan Perppu tersebut Pemerintah telah memutuskan mencabut status badan hukum sekaligus membubarkan Hizbur Tahrir Indonesia (HTI). Menkopulhukam Wiranto memaparkan tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
"Mencermati berbagai pertimbangan diatas, serta menyerap aspirasi masyarakat, Pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," tutur Wiranto.
(Kompas.com - 08/05/2017)
Uji Materi
Pada Selasa (18/7/2017) didampingi kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, HTI mengajukan permohonan uji materi Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Menurut Yusril , melalui gugatan tersebut pihaknya bermaksud membatalkan beberapa pasal yang berpotensi multitafsir. Selain itu, lanjut Yusril, terdapat ketidakjelasan mengenai definisi ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Bebarapa pasal yang dipersoalkan HTI antara lain Pasal 59 Ayat (4) sebagai salah satu pasal yang bersifat karet. Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan, "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945.
Namun, lanjut Yusril, perppu tersebut tidak menjelaskan secara detail mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah. Kemudian Pasal 59 Ayat (4) Huruf a mengenai larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan.
Dia menegaskan, ketentuan dalam pasal tersebut juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sanksi hukum yang berbeda. Dengan begitu, kata Yusril, tumpang tindih peraturan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, Yusril juga mengkritik mengenai penerapan ketentuan pidana dalam Pasal 82A. Pasal itu menyatakan bahwa anggota atau pengurus ormas bisa dipidana penjara jika melanggar ketentuan perppu. (kompas.com, 18 Juli, 2017)
Pesimis
Kalaulah benar persoalan hukum yang lebih menyangkut pada soal multitafsir dan tunoang tindih aturan saya kok jadi tidak yakin uji materi ini akan sukses. Sepengetahuan saya uji materi lebih dititik beratkan pada persolan sejauh mana UU yang diajukan judisial review dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Itulah pokok uji materi utama yang akan dinilai Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pasal 1 angka 3 huruf a jo pasal 10 UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) memang disebutkan salah satu kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945. Dengan demikian jelas pasal atau ayat yang dipersoalkan dalam uji materil harus disinkronkan dengan pasal dan ayat yang ada dalam UUD 1945, harus jelas dimana pertentangan antara keduanya.
Mencermati penjelasan Yusril terlihat sekilas persoalannya lebih pada soal multitafsir dan tumpang tindih pengaturan. Misal, soal pasal 82A yang merupakan penambahan dalam UU Ormas yang berbunyi setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
Selanjutnya ayat (2) nya mengatur setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Ayat (3) nya menegaskan selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana. Begitu juga halnya dengan pasal 59 Ayat (4) Huruf a mengenai larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan yang menurut Yusril juga sudah diatur dalam KUH Pidana.
Seharusnya bukan soal multitafsir dan tumpang tindih pengaturan yang dikedepan Yusril tetapi sejauh mana pasal dan ayat yang dipersoalkan bertentangan dengan pasal dan ayat dalam UUD 1945. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 30 ayat (1) UU MK, permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini berkaitan erat dengan petitum yang dimohonkan agar diputus MK sebagaimana diatur dalam pasal 31 UU MK jo pasal 5 Peraturan MK No.06/PMK/2005 bahwa hal-hal yang dimohonkan pemohon antara lain : Pertama, menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945.
Kedua, menyatakan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Jadi bukan soal tentang tumpang tindih dan multitafsirnya yang akan diminta untuk diputus oleh MK. Kalaupun tumpang tindih sejauh tidak bertentangan dengan UUD 1945 justeru semakin baik kesannya, artinya ada penguatan pengaturan bahwa perbuatan yang dilarang dalam beberapa UU yang berbeda memang perbuatan yang serius yang harus menjadi perhatian bagi pihak-pihak terkait. Kalaupun ada persoalan barangkali hanyalah dari segi efisiensi legislasi yang barangkali terkesan kurang efisien.
Asas contrarius actus
Perubahan yang paling krusial dari UU Ormas dalam perpu ini adalah penerapan kembali asas contrarius actus. Hal ini juga ditegaskan dalam konsirens mengingat : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum menganut asas contrarius actus sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam hukum administrasi Negara, asas contrarius actus adalah asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang membatalkan. Dalam konteks SK Bupati misalnya, maka Bupati yang punya wewenang untuk menarik kembali atau mencabut SK yang keliru.
Menurut Prof. Zudan, ada dua opsi yang diberikan. Opsi pertama, menarik SK, jika SK itu belum dijalankan. Opsi kedua, SK dicabut jika isi SK sudah dijalankan. Asas ini bisa dibaca dalam klausula yang biasa dicantumkan: ‘jika di kemudian hari ada kekeliruan atau kekhilafan, maka SK ini akan ditinjau kembali’. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt542b9982aea43/asas-icontrarius-actus-i-disebut-dalam-sidang-tipikor).
Dalam hal ini menurut saya keberadaan Perppu sudah tepat yaitu kembali mengedepankan asas contrarius actus. Berdasarkan UU Ormas sebelumnya penerapan asas tersebut harus berdasarkan keputusan Pengadilan. Ada kesan kewenangan Pemerintah telah diambil alih oleh pengadilan. Melaui Perppu kewenangan tersebut kembali didudukan.
Namun Perppu tetap menjunjung prinsip negara hukum dimana Perppu tidak juga melarang ormas membawa kembali keputusan pembubaran ormas ke pengadilan tata usaha negara untuk diuji apakah keputusan tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum dan tidak melanggar asas-asas pemerintahan umum yang baik.
loading...
Posting Komentar untuk "Peluang Kemenangan Uji Materi Perppu Ormas"