"Membully" Hakim dan Budaya Hukum Tradisional
Demo LGBT. Sumber : VOA Indonesia |
Melihat begitu antusiasnya para netizen “membully” putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.46/PUU-XIV/2016 berikut hakim-hakim yang memutuskannya, muncul pertanyaan serius dalam benak saya: Adakah yang salah dengan budaya hukum kita? Atau pertanyaan netral lainnya, bagaimanakah budaya hukum kita sesungguhnya?
Atau barangkali ini lebih hanya karena soal teknis lemahnya sosialisasi MK sehingga masyarakat tak begitu paham apa yang sesungguhnya menjadi kewenanganan lembaga ini?
Bagi mereka yang awam hukum barangkali asumsi terakhir ini dapat dipahami. Tetapi kalau yang ikut membully adalah juga para sarjana hukum bahkan mungkin doktor ilmu hukum ikutan mengecam putusan tersebut seraya memaki MK telah melegalkan LGBT dan menyetujui perzinahan..... Walah, artinya ini tak hanya sekedar kurangnya pemahaman atas kewenangan MK.
Mereka pun menunjuk disenting opinion 4 (empat) Hakim MK lainnya yang katanya berpendapat sebaiknya permohonan demikian diterima dan dikabulkan MK. Jelas-jelas para hakim MK tersebut bukanlah pemain baru dalam kancah pemikiran dan penegakan hukum, mereka sudah pasti paham betul fungsi dan kewenangan institusinya.
Lalu dimana letak persoalannya?
Seorang teman satu almamater yang kebetulan bertugas pada sebuah intansi pemerintah yang berkaitan erat dengan penegakan hukum menyayangkan sikap 5 (lima) hakim MK yang menolak permohonan tersebut. Dia bilang mereka sesunguhnya memiliki kesempatan emas untuk mengambil peran penting dalam membentengi generasi muda dari pengaruh buruk LGBT dan ancaman perzinahan.
Dengan kata lain mereka telah memberangus sendiri peluang investasi akherat yang dapat diraih melalui pahala yang berlipat-lipat karena telah menyelamatkan umat dari pengaruh buruk LGBT, kehidupan seks bebas dan sejenisnya.
Waduh ternyata tak hanya sebatas dunia namun juga sampai ke akherat kajiannya. Komprehensif sekali. Namun terlepas dari seluruh perdebatan di atas tak dapat dipungkiri betapa besarnya ekspektasi masyarakat terhadap MK untuk menyelesaikan seluruh persoalan hukum dan kemasyarakatan termasuk menyangkut isu LGBT dan kawan-kawan.
Namun dengan berkesimpulan bahwa kelima hakim yang menolak permohonan tersebut artinya mendukung LGBT dan perzinahan sudah barang tentu serampangan sekali.
Satu hal yang sepertinya kurang dipahami bahwa bagaimanapun pengadilan kita termasuk Mahkamah Konstitusi adalah sebuah institusi modern yang sangat berbeda sekali dari apa yang disebut sebagai pengadilan tradisional.
Menurut Prof. Satjipto Raharjo, dibanding dengan pengadilan dan kerja mengadili di zaman modern sekarang , maka institusi untuk itu di masa lampau yang jauh lebih bersifat alami muncul secara alami dari kebutuhan masyarakat yang tidak dibatasi oleh berbagai macam pengaturan dan prosedur.
Pengadilan sekarang adalah sesuatu bangunan modern yang dirancang secara khusus sebagai bagian dari rancangan organisasi kehidupan sosial modern.(Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., Sosiologi Hukum, Genta Publising, 2010, Hal.146-165).
Mengutip Max Weber, Prof Satjipto menyebut pengadilan di masa lalu merupakan bangunan sosiologis yang bersifat total. Oleh Weber tipe peradilan yang demikian disebut Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules of formally rational law” tetapi kepada hukum substansif yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi, politik dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan.
Bila dikaitkan dengan berbagai argumentasi para pengecam putusan MK di atas nampaknya fakta yang terjadi sekarang senada dengan apa yang disebut Weber dan dikutip Prof. Satjipto di atas.
Apakah ini artinya budaya hukum kita masih tradisional?
Sementara pada sisi lain bangunan peradilan adalah hasil rancangan artifisial yang rasional yang mewajibkan hakim memutus berdasarkan “fixed rules of formally rational law” . Sesuai dengan perkembangan masyarakat modern, menurut Prof. Satjipto pengadilan sekarang boleh dikatakan sebagai suatu badan yang memutus keadilan berdasarkan aturan dan prosedur yang sudah ditentukan.
Memang ada juga kalangan yang berpendapat bahwa sesungguhnya sistem peradilan yang sekarang diterapkan di Indonesia belumlah sinkron benar dengan bayangan sebagian anggota masyarakat tentang apa dan bagaimana sejatinya fungsi pengadilan tersebut, termasuk Mahkamah Konstitusi.
Asumsinya sistem peradilan modern lahir dari kebutuhan akan tahap modernisasi yang telah dicapai masyarakatnya. Namun realitanya sebagai sebuah sistem peradilan modern, pengadilan kita pun sepertinya masih banyak diisi oleh aktor-aktor penegak hukum yang berpaham “tradisional” dalam penegakan hukum.
Barangkali di sini berlaku teori bahwa pranata hukum memang seharusnya bekerja sebagai alat rekayasa sosial, tentu diharapkan menuju kondisi sosial masyarakat yang dianggap lebih baik. Benarkah demikian?
Sepertinya perdebatan panjang dan terus menerus sepatutnya dikembangkan dalam kerangka wacana positif demi penegakan hukum yang lebih baik ke depan. Semoga.
Depok, 18 Desember 2017
loading...
Posting Komentar untuk ""Membully" Hakim dan Budaya Hukum Tradisional"