MEGALAWYERING
Advokat sudah menjadi agen dari borjuisi. Begitu kata Prof. Satjipto
Raharjo ketika membahas kedudukan advokat dalam penegakan hukum dari perspektif
sosiologi hukum.
Betapa tidak, dari
kacamata sosiologi profesi, segala sesuatu yang berhubungan dengan pembelaan
advokat terhadap klien berlangsung dalam suatu medan hubungan sosial tertentu,
dalam hal ini yang menonjol adalah ekonomi. Dalam konteks tersebut maka klien
merupakan kelompok tipikal dari suatu institusi masyarakat kapitalis. (Satijpto
Raharjo, 2010,169).
Menurut Satjipto, aspek hukum dari tugas seorang advokat
adalah mengawal proses penegakan hukum
terhadap kliennya, khususnya mengontrol jaksa dan hakim. Namun ternyata tugas
tersebut hanyalah sebagian saja dari fungsi seorang advokat.
Dari sisi klien sebagai nasabah advokat, dia sesungguhnya
tidak ada kepentingan dengan hukum, melainkan hanya ingin memperoleh bantuan
atau pertolongan agar kesulitannya dapat diatasi. Seorang klien tak mau tahu
adanya aturan-aturan hukum yang harus dijunjung dalam proses peradilan. Klien
hanya menginginkan mendapatkan bantuan dari seorang advokat yang diharapkan
menjadi juru selamat dari belitan masalah hukum yang dihadapinya.
Maka dalam hal ini tugas seorang advokat menjadi ganda.
Selain harus mengontrol pejabat pengadilan, seorang advokat haruslah memberi
bantuan atau melayani keinginan kliennya. Keduanya memiliki potensi konflik.
Advokat menghadapinya sebagai seorang yang melakukan manajemen konflik yang
pada suatu saat dapat melakukan pekerjaan trade
off, demi melayani kepentingan klien advokat akan melunakkan fungsi
kontrolnya.
Maka dalam praktek pembelaan advokat terhadap kliennya
sering kita mendengar istilah advokat yang maju tak gentar membela yang bayar
(MTGMB). Advokat MTGMB seolah tak peduli dengan posisi hukum kliennya dan cenderung
senantiasa mencari celah hukum, tidak hanya untuk meringankan posisi klien
bahkan kalau mungkin membebaskan klien dari tuntutan hukum.
Upaya advokat MTGMB cenderung dinilai menghalalkan segala cara
dan menerabas hukum acara yang ada. Pada akhirnya profesi advokat sebagai
profesi yang mulia (officium nobile)
menjadi pudar. Pakem ideal bahwa upaya
penegakan hukum termasuk pembelaan terhadap klien yang seharusnya dengan menghormati hukum, etika dan norma
sosial menjadi kehilangan makna.
RP vs OS
Mac Galanter membagi para pihak dalam dunia peradilan ke
dalam dua kategori yaitu sebagai Repeat Players (RP) dan One Shotters. RP
menangani perkara yang sama dari waktu ke waktu sedangkan OS hanya sekali-sekali
berhubungan dengan pengadilan. (Satijpto Raharjo, 2010;170).
Pasangan dalam perkara perceraian, pengklaim dalam perkara
kecelakaan lalu lintas dan terdakwa dalam kasus pidana adalah contoh-contoh
pelaku OS. Perusahaan asuransi dan jaksa antara lain adalah contoh pelaku RP.
Pembagian kategori tersebut akan berpengaruh pada perilaku para pihak di
pengadilan termasuk tentunya perilaku advokat yang mewakili para pihak.
Advokat golongan RP akan berusaha untuk menjalin hubungan
baik dengan para pejabat pengadilan, semata-mata karena akan sering bertemu dan
juga demi keberhasilannya mewakili dan memberikan bantuan kepada klien. Di lain
pihak, advokat yang termasuk OS tidak begitu memusingkan hasil pembelaannya
yang sekarang bagi keberhasilannya yang berikutnya, karena ia hanya sekali saja
muncul di pengadilan.
Dalam kerangka itu menurut Satjipto Raharjo, para RP akan
bermain berbeda daripada OS karena alasan-alasan yang masuk akal. Para RP
memiliki unit yang besar dan skala tersebut, maka secara ekonomi taruhannya
pada setiap perkara menjadi kecil (dibanding dengan total perkara). RP yang
memiliki kemampuan dan juga mengantisipasi perkara-perkara yang berkelanjutan (repeated litigation) memiliki sumber
daya untuk bermain di pengadilan dalam kondisi seperti itu. Situasi ekonomi
tersebut sangat berbeda dengan para OS dengan unit yang biasanya lebih kecil.
Keunggulan RP sehingga mampu bermain lebih baik, diperinci
oleh Mac Galanter (Satijpto Raharjo, 2010;171) antara lain: Pertama, karena RP sudah berkali-kali melakukan hal yang
sama sebelumnya, maka mereka memiliki keunggulan intelejen; mereka mampu
menyusun transaksi berikutnya dan membangun rekor.
Kedua, RP membangun keahlian (expertise) dan memiliki jaringan spesialis yang siap bekerja.
Mereka menikmati skala ekonomi (economies
of scale) dan mengeluarkan ongkos kecil untuk memulai setiap perkara.
Ketiga, RP memiliki fasilitas hubungan informasi dengan
pejabat dalam lembaga-lembaga.
Keempat, RP harus senantiasa memantapkan kredibilitas
sebagai kombatan. Kepentingannya dalam membangun reputasi ini merupakan sumber
daya bagi memelihara komitmennya terhadap posisi tawar menawar. OS yang tidak
punya reputasi dalam tawar menawar akan lebih memiliki kesulitan pada waktu
harus melakukan tawar menawar.
Kelima, RP mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan (to play the odds).
Oleh karena RP mempunyai taruhan (stakes)
yang lebih kecil dibanding OS, maka mereka mampu menyusun siasat yang
diperhitungkan untuk memperoleh keuntungan maksimal dalam suatu seri perkara
yang panjang, sekalipun dalam beberapa perkara siasat itu akan memberi resiko
kerugian maksimum.
Keenam, RP juga mampu mengeluarkan ongkos lebih banyak
untuk mempengaruhi pembuatan aturan melalui lobi-lobi.
Ketujuh, RP mempunyai
perhatian besar terhadap aturan main dalam litigasi, oleh karena itu
akan memiliki pengaruh terhadap perkara-perkara yang akan datang. Mereka itu
mempunyai kepentingan terhadap keadaan hukum yang berlaku. Sebaliknya
kepentingan OS dalam hal itu kecil sekali, oleh karena sebagai “pemain yang
sekali saja” (one shotters) mereka
tidak merasa perlu untuk melihat kepada perkara-perkara yang akan datang.
Pada akhirnya seorang Advokat dengan kategori Repeat Players menurut Mac Galanter akan
mampu menilai dan mengamati tentang penetrasi aturan. Secara empirik ada
peraturan yang lebih berkekuatan untuk mempengaruhi dan yang tidak. Berdasarkan
pengalamannya RP lebih mampu untuk melihat mana peraturan yang mempunyai daya
penetrasi dan mana yang hanya lambang saja. Maka dengan segala keunggulannya,
RP lebih mampu menanamkan sumber daya
yang menguntungkan mereka.
Megalawyering
Dalam sistem dan suasana serta lingkungan kapitalisme, maka
dunia keadvokatan semakin ditarik ke dalam dan manjadi bagian dari sistem
tersebut. Bagaimana advokat akan melakukan pekerjaannya tidak dapat lain
kecuali ditempatkan ke dalam hubungan kapitalisme tersebut. Dengan demikian
pelayanan hukum oleh profesi ini makin melihat sebagai barang yang digarap
secara ekonomi. Para advokat sudah bekerja secara businesslike. (Satjipto
Raharjo, 2010; 174).
Tuntutan saat ini sebuah kantor advokat mestilah bekerja
sebagai sebuah perusahaan. Tuntutan real ini semakin memudarkan sifat
kesatriaan (noblese), idealisme dalam
pelayanan hukum semakin menipis. Menurut Galanter, kantor dan praktek advokat
yang semula bersifat individual berubah menjadi suatu perusahaan yang besar,
yang dilakukan dengan ukuran-ukuran yang berbeda daripada lawyering sebelumnya.
Inilah yang disebut Galanter sebagai Megalawyering (ML).
Singkatnya kantor advokat sudah diorganisir sebagai lembaga
bisnis yang besar. Dibandingkan dengan pekerjaan advokat yang lazim (ordinary lawyering), ML melibatkan
praktik dalam skala unit-unit yang besar. ML dengan segala mitranya mampu
memperluas jangkauan operasinya secara geografis dengan akses ke informasi dan
jaringan kontak yang memungkinkannya menemukan rekan pada tingkat lokal dan
memonitor kinerjanya. ML ini semakin diorganisir secara nasional bahkan
internasional.
Namun demikian apapun tahapan yang sudah diraih kini,
seorang advokat dan kantor advokat yang menaunginya, masih terbilang personal/tradional
lawyer kah atau sudah sampai ke tahap megalawyering sekalipun, pada saat-saat
tertentu akan bisa bermain hanya sebatas One Shotters (OS) belaka. Tergantung
pada kebutuhan dalam praktek bantuan hukum.
Memang, dalam pencapaian idealnya seorang advokat dengan
kantornya seharusnya menjadi megalawyering yang secara konsisten bermain
sebagai Repeat Players, pemain jangka panjang. Menurut saya tahapan tersebut
tak mungkin dapat diraih kalau semata menggunakan pendekatan ekonomi dan
sebatas permintaan klien semata.
Citra positif seorang advokat akan tegak dan berkibar apabila
senantiasa ditunjang selain oleh profesionalisme juga oleh etika dan moral
dalam menjalankan praktek pelayanan dan bantuan hukum.
Maka menjunjung tinggi nilai-nilai
advokat sebagai profesi yang mulia (officium
nobile) serta senantiasa menjaga sifat kesatriaan (noblese) dalam
memberikan pelayanan hukum adalah suatu keharusan bagi seorang advokat pada
tahap apapun saat ini dia berada.
Depok, 29 Desember 2017
loading...
Posting Komentar untuk "MEGALAWYERING"