Menggugat Tenaga Kerja Asing
Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah orasi bersama pentolan KSPI pada aksi buruh 1 Mei 2018 (sumber foto : Ibnu Hariyanto/Detik.com |
Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi isu hangat akhir-akhir
ini. Bahkan dalam aksi buruh 1 Mei 2018 lalu Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) menyerukan Pemerintah
agar segera mencabut Perpres No. 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing yang dinilai telah memberikan karpet merah bagi tenaga kerja asing dan
cenderung menganaktirikan tenaga kerja lokal.
Sekalipun tuntutan KSPI tersebut diakhiri dengan
deklarasi dukungan terhadap salah seorang bakal calon presiden dari sebuah
partai non pemerintah, tuntutan tersebut bagi saya tetap menarik untuk
dicermati. Apalagi dalam demonstrasi tersebut juga ikut serta ketua umum Partai
Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra yang juga dikenal sebagai pakar hukum
tata negara yang juga aktif sebagai bertindak sebagai advokat –saya tidak tahu pasti
beliau terdaftar pada organisasi advokat yang mana.
Dalam orasinya Yusril menyatakan kesiapannya untuk
mendukung buruh dengan menjadi kuasa hukum buruh untuk mengajukan gugatan uji
materil perpres tersebut ke Mahkamah
Agung.
Benarkah Pemerintah lebih berpihak kepada tenaga kerja
asing dan mengabaikan tenaga kerja lokal dengan mengeluarkan Perpres No. 20
tahun 2018? Seberapa besarkah peluang uji meteril perpres No. 20 tahun 2018?
Semangat Perpres No. 20 tahun 2018
Dalam konsiderans menimbang Perpres No. 20 tahun 2018
disebutkan bahwa untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan
kerja melalui peningkatan investasi perlu pengaturan kembali perizinan penggunaan
tenaga kerja asing. Pengaturan kembali perizinan diperlukan mengingat peraturan
sebelumnya (Perpres No. 72 tahun 2014) dinilai tidak lagi memadai.
Pasal 2 Perpres menegaskan bahwa penggunaan TKA oleh
pemberi kerja dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu
dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.
Kemudian dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap pemberi
kerja TKA wajib menggunakan tenaga kerja Indonesia untuk semua jabatan yang
tersedia. Apabila jabatan tertentu belum bisa diduduki oleh tenaga kerja Indonesia, jabatan tersebut
dapat diduduki oleh TKA.
Dari kedua pasal tersebut menurut saya clear bahwa perpres lebih memprioritaskan
tenaga kerja lokal ketimbang tenaga kerja asing. Kalau dikaitkan dengan tujuan
utama dalam konsiderans menimbang di atas memang perpres ini ditujukan untuk
memudahkan investasi dalam negeri tetapi bukan berati maksudnya memprioritaskan
TKA dan mengabaikan tenaga kerja lokal.
Selain itu dalam Perpres No. 20 tahun 2018 juga memuat
beberapa aturan baru yang pada prinsipnya sebagai bentuk kewajiban yang
dibebankan kepada pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing yaitu
kewajiban membayar konpensasi kepada negara atas setiap TKA yang dipekerjakan.
Kewajiban ini dimuat dalam pasal 15 yang juga menegaskan bahwa konpensasi ini
merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Untuk lebih meningkatkan peran Pemda terkait penggunaan
tenaga kerja asing pasal 25 Perpres mengatur
bahwa untuk tahun berikutnya yaitu tahun kedua dan seterusnya dana konpensasi
penggunaan TKA oleh pemberi kerja tidak hanya menjadi penerimaan negara tetapi
juga bisa menjadi penerimaan daerah provinsi/kabupaten/kota.
Bagi TKA yang bekerja lebih dari satu kabupaten/kota maka
dana konpensasi tersebut menjadi penerimaan provinsi. Sedangkan bagi TKA yang
bekerja hanya pada satu kabupaten/kota maka dana konpensasi tersebut menjadi
penerimaan pemda kabupaten/kota bersangkutan. Sementara bagi TKA yang bekerja
pada lebih satu provinsi dana konpensasi tetap menjadi PNBP.
Aturan pembayaran konpensasi ini sebelumnya tidak diatur
dalam Perpres No. 72 tahun 2014. Dengan demikian semakin jelas bahwa pemberi
kerja tidak bisa seenaknya mempekerjakan TKA karena sudah barang tentu juga
harus mempertimbangkan kewajiban pembayaran konpensasi dimaksud. Secara tidak
langsung sekaligus aturan ini memotivasi Pemda untuk ikut meningkatkan
pengawasan terhadap TKA.
Melanggar UU?
Dalam orasinya di hadapan aksi buruh 1 Mei 2018 lalu
Yusril Ihza Mahendra dengan lantang meneriakkan Perpres No.20 tahun 2018
bertentangan dengan UUD 1945 dan aspirasi rakyat. Oleh karena itu Yusril
menyatakan kesediaanya untuk menggugat Perpres tersebut ke Mahkamah Agung.
Mungkin maksud Yusril tepatnya Perpres bertentangan
dengan UU bukan dengan UUD. Tapi nanti dulu, dengan UU pun saya agak ragu.
Saya coba menyisir seluruh aturan yang dimuat dalam
Perpres yang terdiri dari 39 pasal tersebut, lebih banyak dari perpres sebelumnya
yang hanya terdiri dari 19 pasal. Saya melihat pada prinsipnya Perpres No. 20
tahun 2018 mengusung penyederhanaan perizinan dan percepatan pelayanan
penggunaan tenaga kerja asing.
Penegasan penyederhanaan perizinan dan percepatan
pelayanan antara lain dimuat dalam pasal yang mengatur tentang permohonan visa
izin terbatas (vitas) yang sekaligus dapat dijadikan permohonan izin tinggal
terbatas (itas).
Kemudian jangka waktu penyelesaian perizinan yang
tidak boleh lebih dari 2 (dua) hari sejak berkas dinyatakan lengkap untuk semua
jenis perizinan. Antara lain menyangkut pengesahan dan perubahan Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), pengurusan vitas dan itas.
Terus terang saya tidak melihat aturan yang berpotensi
bertentangan dengan UU khususnya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenakerjaan.
Terkait pasal 10 Perpres No. 20 tahun 2018 yang berkemungkinan dikatakan
bertentangan dengan UU di atasnya, saya tidak terlalu yakin.
Pasal ini menyebutkan pemberi kerja TKA tidak wajib
memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk mempekerjakan TKA
yang merupakan pemegang saham dan menjabat sebagai anggota direksi, pegawai
diplomatik, dan TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah.
Katanya ketentuan ini bertentangan pasal 43 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengharuskan pemberi kerja mendapatkan persetujuan RPTKA.
Pasal serupa sebenarnya juga sudah dimuat dalam aturan sebelumnya yaitu Perpres No.72 tahun 2014. Pasal ini hanyalah merupakan pengecualian atas kewajiban penyusunan RPTKA untuk TKA tertentu.
Katanya ketentuan ini bertentangan pasal 43 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengharuskan pemberi kerja mendapatkan persetujuan RPTKA.
Pasal serupa sebenarnya juga sudah dimuat dalam aturan sebelumnya yaitu Perpres No.72 tahun 2014. Pasal ini hanyalah merupakan pengecualian atas kewajiban penyusunan RPTKA untuk TKA tertentu.
Dalam Perpres Nomor 72 tahun 2014 ketentuan
pengecualian tersebut diatur dalam pasal 6 yang menyebutkan bahwa kewajiban
memiliki RPTKA tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing
dan badan-badan internasional.
Bila dibandingkan dengan Pasal 10 Perpres Nomor 20 tahun 2018 maka penambahan pengecualian hanya terkait pemberi kerja yang mempekerjakan TKA untuk posisi pemegang saham yang merupakan direksi atau komisaris pada pemberi kerja.
Apakah pengecualian ini bertentang dengan UU? Saya
kira tidak juga.
Dengan demikian jelas kesimpulannya dengan berat hati
saya sampaikan bahwa kecil sekali peluang dikabulkannya permohonan uji materil
(judicial review) atas Perpres No. 20
tahun 2018. Adalah pekerjaan sia-sia bila Prof. Yusril Ihza Mahendra tetap ngotot mengajukannya ke Mahkamah Agung.
Depok, 4 Mei 2018
loading...
Posting Komentar untuk "Menggugat Tenaga Kerja Asing"