Hak-Hak Isteri Setelah Perceraian
Ilustrasi : Pengadilan Agama Kabupaten Malang (www.pa-malangkab.go.id) |
Pertanyaan :
Saya seorang ibu yang
memiliki 2 orang anak. Sebelumya saya bekerja, namun sejak anak pertama lahir, saya
mulai off kerja. Selain karena permintaan suami
saya juga ingin fokus mengurus anak saya
karena memang agak lama baru dapat keturunan.
Sejak lahir anak kedua saya
merasakan ada yang berubah dengan suami saya dia mulai jarang pulang dan tidak
begitu perhatian dengan keluarga, saya tanyakan akan tetapi suami malah berasan
sibuk dikantor dan bentak-bentak saya.
Kondisi tersebut sudah berlangsung dua tahun terakhir. Sampai pada suatu
hari saya mendapat kabar kalau suami saya selingkuh dengan perempuan lain
bahkan sudah nikah siri. Tapi saya masih belum percaya yang pada akhirnya saya
mengetahuinya sendiri barulah saya percaya.
Ketika saya tanyakan dan saya bilang minta diceraikan saja suami
marah-marah dan mengancam kalau saya mita cerai dia tidak
bertanggung jawab dengan anak dan seluruh harta jadi miliknya. Pertanyaan saya : 1). Bolehkah saya mengajukan cerai karena saya tidak tahan lagi dengan sifat suami
saya dan bagaimana caranya?;
2). Apakah
setelah cerai saya masih bisa meminta suami untuk bertanggung jawab terhadap anak-anak yang masing kecil-kecil (anak pertama berumur 9 tahun perempuan dan anak kedua
berumur 5 tahun laki-laki); dan :
3). Apa
saja yang menjadi hak saya setelah bercerai nanti, apakah harta yang kami
miliki itu bisa saya mendapatkannya?
Demikian pertanyaan saya , terimakasih atas
penjelasannya.
Ibu A di Depok
Jawaban :
Terimakasih banyak atas pertanyaanya. Ibu tidak menjelaskan apa agama ibu dan apa pekerjaan suami, tapi tidak
apa-apa kami akan coba memberi penjelasan atas pertanyaan ibu. Siapapun yang menikah tentu menginginkan keluarganya
bahagia,tentram dan sejahtera. Akan tetapi memang banyak faktor yang menyebabkan
sebuah keluarga berakhir pada perpisahan. Dalam agama islam perceraian sungguh
sangat tidak di anjurkan dan mungkin seperti itu juga dalam ajaran
agama lain.
Untuk menjawab semua pertanyaan ibu supaya lebih
mudah saya akan menjelaskan dari dua sudat hukum, yaitu dari aturan hukum islam bagi yang beragama islam dan dari aturan
hukum perdata bagai yang beragama di luar islam.
1. Jawaban untuk pertanyaan pertama
Dalam aturan hukum baik dalam Kompilasi Hukum Islam
(untuk yang beragama islam) dan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan (untuk yang beragama selain islam) tidak ada disebutkan siapa saja
yang boleh mengajukan gugatan cerai, itu artinya baik suami, maupun istri boleh
mengajukan gugatan cerai ke pengadilan sesuai dengan agama masing-masing tentu
dengan syarat-syarat atau alasan yang dibolehkan.
a. Bagi yang beragama islam merujukan
pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Untuk warga negara yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan pasal bisa
mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama dimana domisili dari suami atau istri yang mengajukan gugatan atau dimana domisili suami atau istri
tersebut melangsungkan pernikahan, kalau misalnya ibu berdomisili di Jakarta
Timur, ibu bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama jakarta Timur.
Dalam istilah hukum kalau yang
mengajukan gugatan itu adalah istri itu
dinamakan Cerai Gugat , artinya ibu
mengajukan gugatan Cerai Gugat,
kalau yang mengajukan gugatan adalah suami makan itu dinamakan Cerai Talak.
Permohonan cerai gugat atau cerai talak diajukan
ke Pengadilan Agama bisa dilakukan secara lisan (bagi yang tidak bisa tulis
baca) maupun secara tertulis dengan menguraikan alasan- alasan kenapa ibu
mengajukan cerai gugat dengan melampirkan buku nikah,KTP dan KK.
Berdasarkan
Pasal
115 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan :
”Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.
b. Bagi warga yang beragama selain Islam
Bagi warga negara yang beragam selain
islam, permohonan cerai diajukan ke Pengadilan Negeri dimana domisili suami
atau istri berada atau di domisili suami atau istri melangsungkan pernikahan.
Dalam hal ini tidak ada mengenal cerai gugat dan
cerai talak, baik suami maupun istri yang mengajukan permohonan cerai tetap
dinamakan gugatan cerai. Dengan cara mengajukan permohonan cerai kepada
Pengadilan Negeri sesuai domisili pihak yang akan mengajukan permohonan cerai
baik secara lisan (bagi yang tidak bisa baca tulis) maupun secara tertulis
dengan menguraikan alasan-alasan permohonan cerai dengan melampirkan surat
nikah, KTP dan KK.
Berdasarkan
pasal 39 Ayat (1) dan (2) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:
Ayat
(1) : "Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Ayat (2):”Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami
istri”.
2. Jawaban untuk pertanyaan kedua
a. Bagi yang beragama Islam
Dalam pasal 149 uruf d dan 156 uruf d
KHI dan pasal 41 uruf b UU No.1 tahun 1974 akibat dari perceraian, Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri
dan anak-anak yang belum mumayyiz (dewasa).
Pasal 149 huruf d KHI
"Bilamana perkawinan putus karena
talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadhanah untuk
anak-anaknya yang belum mencapai umur 21tahun."
Pasal 151 uruf d KHI
"Akibat putusnya perkawinan karena perceraian maka semua biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai
anak tersebut dewasa dan mengurus dirinya sendiri (21 tahun)."
Pasal 41 uruf b UU N0.1 tahun 19974
"Bapak yang bertangung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak
dalam kenyataan tidak dapaet memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut".
Dari
penjelasan diatas, itu artinya bahwa seorang suami/ayah berkewajiban untuk
menanggung biaya hidup, pendidikan dan kebutuhan anak-anak sampai anak tersebut
dewasa yaitu berumur 21 tahun. Kalau saat ini anak-anak ibu baru berumur 9
tahun dan 5 tahun tentunya pengadilan nantinya akan mewajibkan kepada ayahnya
untuk menangung biaya dan kebutuhan anak-anak ibu sesuai dengan kemampuan
ayahnya.
b. Bagi yang beragaman
selain Islam
Pada dasarnya hampir sama ketentuannya. Seorang
ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya setelah terjadi
perceraian sesuai dengan kemampuan ayah sampai anak-anak dewasa, hal itu dapat
kita lihat dalam pasal 41 huruf a dan b UU N0. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pasal 41 uruf a dan b
Akibat
putusanya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bila ada perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak pengadilan memberi
keputusannya;
b.Bapak yang bertangung-jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bila mana bapak
dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu dapat memikul biaya tersebut
Dalam
undang-undang perkawinan ada perbedaan seorang anak yang dikatakan dewasa yaitu
telah berumur 18 tahun atau telah menikah seperti yang dijelaskan dalam pasal
47 ayat (1) yaitu :
(1).
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas ) tahun atau belum pernah
melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaanya.
3.
Jawaban untuk pertanyaan ketiga
a. Bagi yang beragama Islam
Berdasarkan uraian pasal 149 KHI bekas
suami wajib memberikan
mut’ah yang layak kepada bekasi istrinya baik berupa uang maupun berupa benda, kecuali bekas istri tersebut qobla
dukhul. Suami wajib memberi
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas
istri telah di jatuhi talak ba l’in atau nusyur
dan dalam keadaan tidak hamil. Selain itu suami juga melunasi
mahar yang masih terhutang seluruhnya,dan separoh apabila qobla al dukhul. Dan yang terakhir wajib Memberikan
biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Hal
itu juga diperkuat dalam surat Al-Baqarah ayat 241 dan surat Al-Ahzab ayat 28
yang artinya :
Surat Al-Baqarah ayat 241
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban
bagi orang-orang yang bertakwa.
Surat Al-Ahzab Ayat 28:
Hai Nabi, katakanlah
kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan
perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan
kamu dengan cara yang baik.
Hal itu berarti, mantan istri berhak atas uang iddah
selama 3 bulan, uang gembira sesuai permintaan mantan istri dan uang mahar yang
masih terhutang. Selain itu bila terjadi perceraian dan dalam pernikahan
tersebut ada memiliki harta maka mantan istri juga berhak sebagian dari harta
tersebut seperti yang dijelaskan dalam pasal 85 dan pasal 97 KHI yaitu :
Pasal
85 KHI
Adanya
harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau istri.
Pasal 97
anda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Itu
artinya, bila selama pernikahan ibu suami ada harta yang didapat itu dinamakan harta bersama, dan bila terjadi perceraian baik suami maupun istri berhak atas
harta bersama tersebut masing-masing setengahnya.
b. Bagi yang beragama selain Islam.
Pemerintah telah mengatur secara detail masalah perkwaninan ini baik dalam undang-undang perkawinan maupun dalam KHI,
dalam UU perkawinan bila terjadi perceraian sesuai dengan ketentuan pasal 41
dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 41 uruf c UU No.1 tahun 194
tentang perkawinan
Akibat putusanya perkawinan karena
perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuai kewajiban
bagi bekas istrinya.
Dalam
undang-undang perkawinan memang tidak di uraikan apa saja yang menjadi wajibkan
bagi mantan suami setelah terjadinya perceraian, pasal 41 uruf c diatas
menjelaskan “pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami” itu artinya semuanya tergantung dari penilaian dan
putusan hakim apakah mantan istri diwajibkan utk memberi nafkah atau tidak.
Mengenai
harta bersam dalam pasal 35 ayat (1) UU N0 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga
mengenal adanya harta bersama dalam perkawin yang berbunyi :
(1)
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
Itu
artinya masing-masing mantan suami atau
istri berhak atas harta bersama tersebut, namun tidak ada dijelaskan lebih
lanjut bagaima pembagian harta bersama tersebut, akan tetapi menurut kami harta
bersama tersebut bisa saja dibagi
berdasarkan kesepakantan antara mantan suami atau istri, dengan
mempertimbangan kondisi istri apakah dia bekerja, dan apakah anak2 berada
dibawah pengasuhanya. Atau Bisa saja
harta bersama tersebut di berikan seluruhnya kepada anak-anak dengan
pertimbangan untuk masa depan anak-anak, tentunya berdasarkan kesepakatan
dari mantan suami atau isrti bersangkutan.
Demikian
jawaban kami, semoga bisa membantu ibu, akan tetapi saran kami sebaiknya
carilah jalan terbaik dulu sebelum memutuskan untuk bercerai.Terimakasih.
Sumber Hukum :
Kompilasi Hukum Islam
UU No. 1 tahun 194 tentang perkawinan Elvira Suriani, S.H.
Senior Associate ZPP Law Firm
loading...
Posting Komentar untuk "Hak-Hak Isteri Setelah Perceraian"