Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Hak Angket Terhadap KPK Salah Alamat?

Paripurna Hak Angket terhadap KPK. Foto :www.tribunnews/Ferdinand Waskita

Mulai dari pengamat, LSM sampai pakar hukum bahkan asosiasi pengajar hukum tata negara yang berisikan para profesor tata negara sudah mengingatkan bahwa pengajuan hak angket terhadap KPK itu salah alamat. Tapi DPR tetap  keukeh. Anjing menggonggong kapilah tetap berlalu.

Keyakinan DPR tersebut tercermin salah satunya dari peryataan Wakil Ketua DPR , Fahri Hamzah. Menurut Fahri , penggunaan hak angket terhadap lembaga tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). "Bagaimana caranya ini (KPK) diawasi, apakah dia kena dalam penggunaan hak DPR mengawasi pemerintah? Disepakati kena," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/5/2017). "Siapapun yang melaksanakan UU dan mendapat uang dari APBN bisa kena angket," lanjut Fahri. (http://nasional.kompas.com/read/2017/05/02/14485381/fahri.hamzah.sebut.hak.angket.bisa.diajukan.untuk.kpk.ini.alasannya).

Saya sendiri tidak terlalu yakin pembentukan hak angket terhadap KPK itu sesuai dengan UU . Pasal 73 UU No.17 tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD memang mengatur DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan tersebut. Bila pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan. 

Selanjutnya Pasal 74 UU yang sama mengatur DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.
Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR. Setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah yang mengabaikan rekomendasi DPR, DPR antara lain dapat menggunakan hak angket. DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR.

Pasal 79 ayat (3) menegaskan Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Mencermati rangkaian pasal dan ayat di atas, ada pertanyaan yang perlu dipastikan jawabnya terlebih dulu apakah KPK termasuk dalam pengertian Pemerintah? Apakah anggota KPK adalah pejabat negara atau pejabat pemerintah?

Menurut UUD 1945 DPR adalah Pemegang kekuasaan legislatif yaitu kekuasan untuk membuat undang-undang. Namun rancangan UU tetap harus mendapat persetujuan bersama dengan Presiden. Sedangkan Presiden adalah Pemegang kekuasaan eksekutif atau kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang menurut UUD 1945. Inilah pengertian kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit. Presiden adalah kepala pemerintahan, yang dalam tugasnya dibantu oleh menteri-menteri. Presiden bersama para menteri disebut kabinet.

Dalam arti luas pemerintahan adalah kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian jelas dalam artian sempit KPK tidak termasuk dalam pengertian pemerintah. Tetapi dalam artian luas KPK termasuk dalam pengertian pemerintah. Dengan demikian dalam artian sempit Pimpinan KPK dapat dikategorikan sebagai pejabat pemerintah. Namun menurut UU No.30 tahun 2002 pasal 3, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Pasal 21 ayat (3) menegaskan bahwa Pimpinan KPK yang terdiri dari 5 orang anggota adalah pejabat negara. Dari kedua pasal ini jelas dapat disimpulkan bahwa anggota KPK adalah pejabat negara. Mengacu kepada uraian di atas dapat disimpulkan sekalipun tidak termasuk dalam pengertian pemerintah dalam artian sempit namun dalam artian luas KPK termasuk dalam pengertian pemerintah. Apalagi bila mencermati UU KPK di atas jelas bahwa KPK adalah lembaga negara dimana sudah barang tentu seluruh pimpinan KPK termasuk sebagai pejabat negara.

Dengan demikian dapat dipahami kalau DPR yakin seyakin-yakinnya bahwa keputusan mengajukan hak angket terhadap KPK sama sekali tidak salah alamat. Apalagi bila mencermati pernyataan dari wakil ketua DPR di atas yang jelas mengedepankan tentang adanya dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan UU yang tentu saja dalam hal ini DPR menduga dilakukan oleh KPK.

Hanya saja bila mencermati produk akhir dari pansus hak angket ini setelah melakukan penyelidikan tentang ada tidaknya pelanggaran UU oleh KPK, tentunya adalah rekomendasi kepada Presiden. Apakah DPR akan merekomendasikan pemberhentian anggota KPK bila benar temuan DPR bahwa KPK telah melanggar UU? Atau benar apa yang selama ini coba dikedepankan DPR bahwa hak angket adalah untuk kepentingan perbaikan KPK ke depan? Seperti apa maunya DPR, mari sama-sama kita lihat dan kawal selalu.
loading...

Posting Komentar untuk "Benarkah Hak Angket Terhadap KPK Salah Alamat?"