Salah Alamat Tidak, Tapi Salah Niat
Suasana Rapat Paripurna DPR tentang Hak Angket terhadap KPK pada 28 April 2016. Foto: Kompas.com/Dani Prabowo |
Setelah nama Amien Rais, Ketua Dewan Kehormatan
Partai Amanat Nasional (PAN) disebut dalam sidang dugaan korupsi Alkes yang
ditangani KPK, mendadak PAN berubah sikap. Semula. Ketua Umum PAN, Zulkifli
Hasan pernah menegaskan partainya
menolak hak angket
DPR terhadap KPK.
Menurut Zulkifli, KPK sedang mengusut
kasus-kasus besar, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Karena itu, ia menilai, tidak boleh kerja KPK diganggu. Namun sekarang PAN
berubah sikap dengan mengirimkan tiga nama ke Pansus Angket KPK.
Sekalipun Amien Rais
menegaskan sikap PAN yang akhirnya mengirim perwakilan ke panitia khusus angket
KPK di DPR bukan karena namanya disebut menerima uang aliran dana korupsi pengadaan alat kesehatan (Kompas.com, 7/6/2017), sepertinya
tetap saja publik menilai miring perubahan sikap yang tiba-tiba tersebut.
Perubahan sikap
serupa juga terjadi pada Partai Gerindra. Gerindra pada awalnya tegas menolak hak angket
terhadap KPK. Seluruh anggota Fraksi Gerindra dilarang
menandatangani usulan hak angket.
Bahkan, Gerindra merupakan salah
satu fraksi yang walk out pada sidang paripurna pengambilan
keputusan penggunaan hak angket KPK beberapa waktu lalu.
Sekarang, Gerindra katanya memiliki
argumentasi mengapa sikapnya kini justru turut mengirim perwakilan ke Pansus
KPK. Fraksi Partai Gerindra di DPR telah menetapkan empat anggotanya untuk
dikirim ke Panitia Khusus (Pansus) hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Empat orang itu merupakan anggota Komisi III DPR. (Kompas.com,
6/6/2017).
Ada apa dengan para politisi di DPR?
Apakah memang sepak terjang KPK benar-benar telah mengancam keberadaan mereka?
Benarkah DPR berniat memperbaiki KPK
atau lebih hanya sekedar melindungi diri bahkan lebih dari itu pengajuan hak
angket sepertinya sudah sampai pada upaya untuk melakukan serangan balik
terhadap KPK.
Bila ditelusuri kembali, pengajuan hak
angket terhadap KPK berawal dari penolakan KPK atas permintaan DPR agar KPK
membuka rekaman pemeriksaan Miryam. KPK bersikukuh bahwa rekaman tersebut hanya
boleh dibuka dalam persidangan.
Sebagaimana diketahui bersama
permintaan DPR tersebut dipicu oleh keterangan penyidik KPK tentang adanya
tekanan kepada Miryam dari beberapa nama anggota DPR agar tak menyebut keterkaitan anggota DPR dengan kasus
koruspi e-KTP yang perkaranya tengah bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Urgensi Pansus Angket
Bila ada yang
berpendapat Pansus Hak Angket KPK menyalahi Pasal 79
ayat 3 UU No.17 tahun 2014 yang menyatakan bahwa hak angket merupakan hak DPR
untuk menyelidiki pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan
bertentangan dengan perundang-undangan. Dengan dalih bahwa KPK tidak termasuk
dalam ruang lingkup KPK, saya termasuk yang berbeda pendapat.
Pengertian hak angket
dalam rangka menyelidiki dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan UU dan posisi
Pimpinan KPK yang merupakan pejabat negara dapat menjadi pintu masuk bagi DPR
untuk mengarahkan penyelidikan angket ini kepada KPK.
Namun tentunya harus
diperjelas dugaan pelanggaran UU apa yang telah dilakukan KPK?
Dalam perbincangan dengan
sebuah stasiun televisi swasta wakil ketua Panitia Angket kembali menyebut soal
SOP KPK. Apakah karena SOP KPK yang mungkin mengatur bahwa rekaman pemeriksaan seorang
tersangka yang hanya boleh diperdengarkan di dalam persidangan yang dinilai DPR
melanggar UU?
Penyidik KPK Novel Baswedan sebelumnya
mengatakan, Miryam mengaku diancam sejumlah anggota DPR periode 2009-2014.Adanya
ancaman itu diutarakan Miryam kepada penyidik saat pertama kali diperiksa KPK
pada 1 Desember 2016.
Menurut Miryam kepada penyidik, para
koleganya di DPR melontarkan ancaman terkait pembagian uang proyek e-KTP. Mereka
menginginkan Miryam tak menyebutkan adanya pembagian uang.
Terkait hal tersebut, lima orang yang
disebut Miryam membantah pernah menekan Miryam.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo berharap Panitia
Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu membuka
kebenaran dan mengungkap siapa yang menekan mantan Anggota Komisi II Miryam S.
Haryani.
Adanya surat tulisan tangan pernyataan
Miryam yang mengaku tak pernah ditekan dan diancam anggota Komisi III,
menurut Bambang, menunjukkan bahwa tak ada anggota Komisi III yang menekan Politisi Partai Hanura
itu, sebagaimana yang disampaikan penyidik KPK pada persidangan kasus e-KTP.
Bambang mengatakan, ia menyesalkan
pernyataan prematur penyidik KPK yang menyebut ada sejumlah anggota Komisi III yang menekan dan mengancam Miryam. Akan
tetapi, hal ini tak disertai cross check kepada para pihak yang disebutkan
tersebut.
Ia menantang KPK untuk dapat
membuktikan pernyataannya tersebut. Politisi Partai Golkar itu menambahkan,
jika peristiwa itu benar, maka pembuktiannya tidak sulit. Sebab, setiap
pemeriksaan baik saksi maupun tersangka seharusnya selalu direkam sesuai dengan
Standar Operating Procedure (SOP) KPK.(Kompas.com,9/6/2017).
Mencermati latar
belakang di atas, dimanakah letak niat untuk memperbaiki KPK sebagaimana
digembar-gemborkan selama ini? Niat awalnya jelas melindungi diri dan
melancarkan serangan balik. Tentunya ini adalah niat yang salah.
Kalau memang DPR berniat
memperbaiki dan mendukung KPK maka yang urgent dilakukan saat ini adalah mendorong
pengungkapan teror penyiraman air keras yang menimpa Novel Baswedan yang sampai
saat ini belum juga terbongkar tuntas.
Bukan justru sebaliknya senantiasa merecoki langkah penegakan hukum yang sesungguhnya
menjadi mandat utama KPK.
Mari dukung KPK tetap
istiqomah bongkar korupsi berjamaah e-KTP dan korupsi-korupsi politik lainnya.
Save KPK.
loading...
Posting Komentar untuk "Salah Alamat Tidak, Tapi Salah Niat"